My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #32

Kak...

Aku harus mencari bantuan. Aku tidak akan bisa menemukan Nana sendirian di tempat luas dan sepi ini. Nana harus segera ditemukan sebelum terjadi apa-apa dengannya. Pikirannya sedang kalut.

Aku menghubungi Anton.

"Ya, Al...."

"Ton." Aku memotong sapaannya, masih terengah-engah.

"Ada apa? Kenapa kau?" Anton bertanya panik.

"Aku baik. Tetapi Nana tidak. Dia tahu, Ton. Dia tahu. Aku memberitahunya dan sekarang dia kabur. Kau harus membantuku mencarinya," jelasku, masih dengan nafas tersengal.

"Sial! Kenapa kau tidak menungguku." Anton mengumpat di seberang, "Tunggu. Kami sudah memasuki pintu taman bendungan lama. Di mana posisimu?" tanyanya.

"Pos 45," jawabku.

"Pos 45? Itu jauh sekali. Apa yang kalian lakukan di sana?" Dia bertanya curiga.

"Nanti kuceritakan. Yang terpenting sekarang adalah menemukannya."

"Tenanglah. Kita pasti akan menemukanya."

Anton mematikan sambungan. Aku kembali mengantongi ponselku dan berjalan tanpa arah.

"Naaaa! Nanaaaa...!" Aku berteriak sambil terus berjalan mengikuti arah Nana berlari tadi. Tapi banyak persimpangan di sini. Aku tidak tahu Nana berbelok ke mana.

Aku mencari dengan putus asa, terus berteriak seperti orang gila. Sedikit pengunjung di sana, menatapku dengan keheranan. Aku berputar-putar, berlari, dan berteriak seperti orang kesurupan.

Dua puluh lima menit berlalu, aku masih belum berhasil menemukan jejak kepergian Nana. Hingga saat kurasakan kakiku hampir putus, aku hampir gelap mata dan memilih menceburkan diri ke bendungan, ponselku berdenting. Aku segera melihatnya. Ada satu pesan masuk.

[Pergilah ke ujung pintu masuk. Aku menemukan Nana. Dia aman bersama kami.]

Abe mengirimiku pesan. Ujung pintu masuk. Itu sangat jauh dari sini.

Aku segera berlari kembali ke mobil, tidak peduli pada dadaku yang panas membara dan jantungku yang hampir putus. Aku terus memacu langkahku.

Aku hampir muntah saat berhasil mencapai mobil. Aku segera membukanya, mengguyur kepalaku dengan air mineral di dalam mobil dan meminum sisanya sampai habis.

Aku masuk mobil, menyalakannya dan menjejak pedal gas dalam-dalam.

Aku sampai di tempat Anton, Abe dan Nana dalam waktu sepuluh menit lebih sedikit. Motor Anton terparkir di tepi jalan, aku menghentikan mobilku tepat di belakangnya. Aku keluar dan segera berlari mendekati mereka. Mereka duduk di trotoar di seberang jalan, Nana menangis tersedu di pelukan Anton.

"Na...."

"Na. Kau ingat apa yang ku katakan kan?" bisik Anton lirih sambil membelai rambutnya yang panjang.

Nana terlihat mengangguk di dekapannya, masih terisak. Kedua tangannya mengalung erat di leher anton, seperti anak kecil yang ketakutan.

Jika saja Anton bukan sahabatku dan aku tidak tahu bahwa dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada Nana, mungkin aku sudah membunuhnya saat ini juga. Dia membakarku dengan rasa cemburu karena berani mendekap Nana dengan erat dan membelai rambutnya yang halus.

Aku memejamkan mata untuk menghalau amarahku, mematikan saraf-saraf cemburuku yang menegang.

"Na...." Anton kembali memanggil, lengannya kembali membelai lembut kepala dan sepanjang rambut Nana.

Bre***ek! Tanganku mengepal erat menahan sakit, perih, sesak dan cemburu yang meluap-luap. Dadaku naik turun mengatur emosi.

Sepertinya Abe bisa merasakan perubahan diriku. Perlahan dia berdiri dari samping Nana, mendekatiku dan mencengkeram lembut pundakku. Jelas dia sedang mengirimkan sinyal positif kepadaku, agar aku mampu mengendalikan diri lebih baik.

"Dia akan baik-baik saja. Dia hanya butuh waktu," bisiknya. 

Aku mengangguk tegang. "Baiklah. Aku akan menunggu," kataku, akhirnya menyerah. Nana masih tersedu di pelukan Anton. Aku harus menjauh dari pemandangan ini atau aku akan lepas kendali.

Aku bergerak perlahan kembali ke mobil, bersandar pada pintu pengemudi dengan kedua tangan terlipat sambil memperhatikan mereka bertiga.

Aku mengatur nafas, meredakan emosiku dan melepas segala bentuk kecamuk di kepalaku. Setidaknya Nana aman. Kalaupun Nana kini membenciku, setidaknya dia akan aman di pelukan Anton dan pengawasan Abe. Betapa pun aku ingin menjaganya dalam dekapanku, tapi aku tahu aku sama sekali tidak pantas. Aku tidak berhak atasnya. Cintaku untuknya semu. Cinta itu terlarang.

Kulihat Anton kembali berbicara pada Nana. Abe ikut berlutut, membelai lembut kepala Nana dan ikut berbicara. Aku menunggu. Hanya bisa menunggu dan berharap Nana akan memaafkanku. Lebih baik lagi jika Nana tidak membenciku, tetapi aku tidak ingin berharap terlalu tinggi. Aku takut jatuh. Itu pasti sangat menyakitkan.

Perlahan kulihat Nana melepaskan diri. Dia mengusap sisa air matanya menggunakan punggung tangan, kemudian mendongak menatapku dari jauh.

Aku ingin kesana, tapi aku tahu lebih baik aku menunggu sinyal dari mereka supaya lebih aman.

Kulihat Nana menoleh dn mengangguk pada Anton beberapa kali, sebekum Anton melambai padaku.

Aku berjalan mendekat, kakiku terasa berat. Perlahan aku berjongkok dan menunduk di depannya. Wajahnya terlihat sembap, matanya bengkak dan merah. Tanganku membelai pipinya yang dingin, menghapus sisa sir mata yang sudah mengering di sana.

Nana menunduk, tetapi tidak menolak. Itu sudah sangat cukup bagiku. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya lega.

"Na...." Aku memanggilnya ragu.

"Maafkan aku," jawabnya lirih. Tatapannya masih tertunduk di depanku.

"Kau tidak perlu meminta maaf. Akulah yang salah. Seharusnya kau mengetahui ini sejak awal," jelasku.

Nana menggeleng lemah. Aku menggenggam kedua pipinya dengan sayang. Kehangatan menjalari tangan dan seluruh tubuhku, membawa ketenangan.

Nana mendongak, menatap langsung ke dalam mataku. Meski usai menangi, tapi dari caranya menatapku aku tahu Nana gadis yang sangat kuat.

"Aku harus bertanya pada ibuku," katanya.

Aku terkesiap. Ibu Nana. Aku lupa soal ibunya. Ibunya pasti akan sangat membenciku karena telah memberitahu Nana tanpa seijinnya.

"Apakah, apakah kau akan marah pada ibumu?" tanyaku takut.

Lihat selengkapnya