"Kau curang! Kau pergi bersama Nana," teriak Lucy merengek manja.
"Tentu saja aku pergi bersama Nana. Tetapi juga bersama peserta lain yang memenangkan lomba," jelasku.
"Aku ingin ikut."
"Aku berjanji kita bertiga akan berangkat lagi saat kau liburan nanti. Untuk sekarang, aku ke sana sekolah, Lu. Aku mengikuti pertukaran pelajar."
"Tetapi kau membayar sendiri."
"Karena hanya satu orang yang di biayai dan aku memilih Nana. Ayah bisa menanggung biaya tiket dan kamar hotelku ke Jepang. Jika tiket kemenangan itu aku ambil, Nana tidak akan berangkat. Ibunya tak akan sanggup," bisikku.
"Tetapi kau kan bisa memintakanku pada ayah juga."
"Dengan mengatakan kau ikut pertukaran pelajar SMA juga?"
Lucy mendengus kesal.
"Ayolah. Jangan sampai mama tahu tentang semua ini." Aku menggenggam tangannya, memohon.
"Bagaimana kau mengatakannya pada ayah?" tanya Lucy.
"Aku sudah berbicara pada ayah tentang Nana. Aku mengatakan padanya kita sudah tahu siapa Nana dan ibu Rosa. Dan oh ya, ayah mengirim ucapan terima kasih banyak padamu. Dia juga akan memberimu hadiah apapun yang kau inginkan karena telah bersikap baik," jelasku.
"Oh! Kenapa kau baru mengatakannya sekarang. Aku akan menemuinya. Ada sesuatu yang sudah lama aku incar," pekiknya. Kemudian ia berlari menyambar ponsel, jaket dan ransel kecilnya di atas meja.
Aku kembali ke kamarku setelah suara mobil mang Ujang yang mengantar Lucy menghilang. Aku meraih ponsel di atas meja dan menekan tombol panggil pada nama Nana.
Dua deringan....
"Hi, Al...." jawab Nana di seberang.
"Na. Kau berangkat ke bandara dengan siapa untuk ke Jepang besok?" tanyaku.
"Ibu akan mengantarku ke bandara. Kau tidak ingin mengantarku?" tanyanya.
"Maafkan aku, aku tidak bisa mengantarmu. Aku ada janji dengan Lucy yang tak mungkin ku batalkan. Meski aku tahu dia tidak akan mengeluh, tapi aku tidak suka melihat Lucy kecewa," bohongku.
Ya, aku membohongi Nana soal ini. Karena aku akan berangkat bersamanya ke Jepang. Aku sudah mengurus segalanya dengan bu Ranti dan pak Anwar, dan kami sepakat untuk merahasiakan ini sebagai kejutan untuk Nana.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja dengan ibu. Kau bisa mengantar Lucy kemana dia ingin pergi. Kau benar, jangan kecewakan dia. Aku juga tidak suka melihatnya kecewa," jawab Nana cepat-cepat.
"Maafkan aku, Na."
"Sudahlah, lupakan. Aku akan memberimu kabar begitu aku mendarat di sana nanti," katanya ceria.
"Baiklah. Dan ingat, berhati-hatilah pada anak laki-laki yang juara satu itu. Dia selalu menatapmu penuh candu, seolah ingin menelanmu hidup-hidup," pesanku.
"Kenapa kau begitu posesif kepadaku, sih!" Nana menggerutu.
"Eits! Aku kakakmu, ingat. Aku berhak membatasi pergaulanmu demi keamananmu. Aku punya kewajiban menjaga adik-adik perempuanku..."
"Haha.... Bye Alexa."
Nana memutus sambungan.
Aku melempar ponsel ke atas bantal, menarik koper dari bawah tempat tidur dan membukanya. Aku berdiri, membuka lemari dan mulai memilah-milah yang perlu aku bawa ke Jepang besok.
"Lho, mas Alex. Kok bawa-bawa koper. Mau kemana?" Bi Marni melongok dari pintu kamar.
"Ke Jepang, Bi," jawabku, tersenyum menatapnya.
"Ke Jepang? Mau ngapain mas ke Jepang?" tanyanya kaget.
"Sini sini Bi, duduk sini yang tenang. Tarik nafas dulu, tiup pelan-pelan. Nah begitu."
Bi Marni yang memang latah melakukan apa yang ku perintahkan. Aku terkikik geli.
"Aduh, mas Al ini. Bibi kok selalu diguyoni begitu lo. Mas ini yang bener. Mau kemana? Jepang itu jauh mas, di luar negeri sana. Mau ngapain jauh-jauh ke sana," katanya, meluncur turun dan duduk bersimpuh di sampingku.
"Ah, masa sih Bi. Aku pikir Jepang itu sebelum Bali," gurauku.
"Mas Alex ini. Jangan bercanda sama bibi ah. Yang bener. Mas ini mau kemana?"
Bi Marni mengomel gemas sambil memukuli pundakku.
"Ke Jepang, Bi," jawabku, masih menatapnya geli.
"Mau ngapain ke Jepang, Mas? Sama siapa?" tanya bi Marni lagi.
"Al kepingin beli boneka Doraemon tuh Bi, buat Lucy. Dia minta yang ada kantong ajaibnya beneran kaya yang di tivi. Kan sebentar lagi Lucy ulang tahun, ingat?" candaku.
"Jangan bercanda ah, Mas. Bibi ini gak suka mas akhir-akhir ini sering kabur dari rumah. Apa karena tuan besar dan nyonya sering bertengkar lagi, mas jadi kabur-kaburan begini?" tanya bibi, menatapku serius.
Aku tersenyum menatapnya sekarang, berhenti menggoda wanita paruh baya ini. Dia benar-benar mengkhawatirkanku.
"Begini ya, Bi. Al kasih tahu ya. Waktu Olimpiade kemarin, Al berhasil dapat juara dua. Hadiahnya studi banding ke Jepang selama sepuluh hari. Studi banding itu belajar, sekolah. Sekolah disana, Bi. Sepuluh hari," jelasku sabar. Kedua tanganku mengacung dengan sepuluh jari-jariku yang terbuka.
Raut muka bi Marni berubah seiring ceritaku. Matanya membelalak lebar, mulutnya membuka membentuk lingkaran besar. Tangannya bergerak perlahan menutup rongga besar mulutnya. "Sekolah di Jepang? Ya Allah Gusti... Masya Allah," pekiknya dan langsung memelukku sambil menangis. Aku mengelus-elus punggungnya.
"Kalau bukan karena bibi yang dengan sabar merawat kami dan mengajari kami dari kecil, aku dan Lucy tidak akan jadi sesukses ini sekarang, Bi. Mungkin kami akan jadi anak berandalan yang terjerumus pergaulan bebas dan obat-obatan terlarang. Makasih ya, Bi."
Bi Marni sesenggukan semakin keras.
"Tidak begitu, Mas. Semua ini juga karena mas dan non Lucy selalu menjadi anak baik dan penurut," katanya.
Setelah puas menangis, wanita baya itu melepaskan pelukannya dan mengelap wajahnya dengan ujung kerudung.
"Biar bibi yang menyiapkan baju-bajunya, Mas. Mas tinggal bilang saja mau bawa baju yang mana. Apa mau bawa seragam juga?" tanyanya, bangkit berdiri dan mulai memilah-milah bajuku di lemari.
"Baju yang mana saja, Bi. Di sana musim dingin bulan-bulan ini jadi bawakan aku baju hangat. Bawakan juga seragam abu-abu ku, juga rompi rajut dan tuksedo."
Setengah jam kemudian segala keperluanku telah tertata rapi di dalam koper. Laptop dan keperluan kecil-kecil lainnya masuk di dalam tas ranselku.
"Terima kasih, Bi. Sekarang aku harus beristirahat. Katakan pada mang Ujang untuk mengantarku ke bandara, besok."
"Baik, Mas. Mas tidur saja sekarang."
Kemudian wanita baya itu tergopoh-gopoh keluar dan menutup pintu.
"Bi!" teriakku, sebelum pintunya menutup rapat. Kepala dengan jilbab miring merosot ke segala arah itu melongok kembali ke dalam.
"Nana masih di luar. Bilang pada mang Ujang jangan pulang terlalu larut."
Bi Marni mengangguk, kemudian mundur dan menutup pintu hingga berbunyi ceklek.
***
Nana naik ke atas pesawat saat aku sudah duduk di kursiku. Aku mengenakan kacamata hitam dan topi baseball yang ku tarik ke dalam, menutupi sebagian wajahku. Aku bisa melihatnya tersenyum sopan saat melewatiku menuju kursinya.
Nana duduk kaku di kursinya, wajahnya tegang. Aku ingat pertama kali naik pesawat bersamanya adalah ke jakarta, dan Nana tidur di sepanjang perjalanan karena mabuk. Padahal perjalanan udara dari kotaku ke Jakarta hanya memakan waktu empat puluh lima menit.
Pramugari mengingatkan untuk memasang sabuk pengaman karena pesawat akan segera mengudara. Ku lirik Nana, dia memejamkan mata. Ya Tuhan bagaimana aku akan tega melepasnya terbang sendirian selama berjam-jam padahal belum take off saja dia sudah ketakutan seperti ini.
Aku menahan keinginanku untuk memeluknya dan menenangkannya. Nana masih bersandar tegang, matanya terpejam rapat.
Lima belas menit kemudian, aku melepas penyamarnku. Aku yakin Nana tidak akan membuka matanya hingga pesawat melakukan pendaratan beberapa jam ke depan. Aku menatap Nana dengan cemas, tapi bertahan untuk tidak menyentuhnya.
Wajah Nana memucat dengan cepat. Bibirnya putih, dadanya naik turun. Aku menatapnya cemas. Tidak tega melihatnya seperti ini.
Saat tanganku mendekat untuk menyapanya, kulihat dua bulir air mata meluncur turun dari kedua sudut matanya. Ya Tuhan. Kepalaku tiba-tiba seperti di belah menjadi dua.