Study di Jepang hampir tidak membawa hasil yang maksimal buatku. Aku terlalu sibuk memikirkan Nana. Nana terlalu dekat dengan Dirga, anak laki-laki asal SMA 3 Jakarta itu.
Tetapi kuperhatikan Nana sepertinya tidak menolak kedekatan yang ditawarkan Dirga padanya.
Aku menghabiskan hari-hariku dengan berjalan sendirian di taman, beberapa waktu sambil menelepon Anton dan Abe atau Lucy, untuk mengabarkan keadaanku. Tetapi itu sama sekali tidak mengatasi masalah. Aku tetap saja dibakar cemburu saat melihat mereka sedang berdua.
Seperti kala itu, aku sedang kacau dan sedang ingin sendirian. Pagi-pagi sekali aku sudah keluar kamar, pergi ke ruang makan tanpa menunggu Nana. Berikutnya, Nana masuk berdua dengan Dirga, tawanya terkembang cerah.
Aku meletakkan sumpit, meski makananku masih tersisa setengahnya. Aku tahu itu tidak sopan untuk tidak menghabiskan makananku, tapi tenggorokanku benar-benar sudah tersumbat bola api yang membakar, membuatku sama sekali tidak bisa menelan secuil makanan pun.
Aku bangkit berdiri, membuang sisa makanan dan sumpit ke dalam kantung sampah, dan menumpuk alat makan di atas meja piring kotor.
Aku berjalan keluar dengan tenang, melewati Nana dan Dirga yang sibuk mengambil makanan sampai tidak menyadari kehadiranku.
Hari ini akhir pekan, sekolah libur. Aku berjalan ke taman sendirian, berharap bisa sedikit meredakan kekacauan hatiku. Aku menelepon Lucy, memastikan padanya aku baik-baik saja di sini. Setelah satu jam berlalu mendengar rengekan Lucy tentang pergi ke Jepang, aku menelepon Abe. Dia menyarankanku untuk pergi ke mall atau tempat-tempat olah raga alih-alih taman, saat mataku menangkap kelebat Nana dengan Dirga, berjalan-jalan berdua di taman. Bola api yang sedari tadi mengganjal tenggorokanku meluncur dengan kecepatan Burok, menuju kepalaku, bersarang di dalam otakku. Andai saja ini film kartun, mungkin kalian akan melihat telingaku mengeluarkan asap seperti lokomotif.
"Al... Al kau masih di sana?" tanya Abe dari seberang.
Aku meremas ponsel dengan geram. "Aku akan menghubungimu lagi nanti."
Aku menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Ku buntuti Nana dari jauh, memastikan laki-laki itu tidak sedang macam-macam padanya. Nana adikku. Seperti halnya Lucy, aku harus menjaganya tetap aman.
'Benarkah begitu?' tanya setan di dalam kepalaku. 'Kau membuntutinya bukan untuk menjaganya. Tetapi kau ingin tahu. Kau cemburu. Kau cemburu padanya, Bodoh!' bisik setan lain sambil menyalakan kembang api colorado di dalam kepalaku.
Aku berusaha menekan kuat-kuat efek ledakan kembang api gila di kepalaku, agar tidak ikut meledakkan emosiku.
"Jadi, bagaimana?" Ku dengar Dirga bertanya pada Nana.
"Sudah ku katakan padamu dia kakak ku," jawab Nana.
"Tetapi dia terlihat sangat marah tiap kali melihat aku mendekatimu. Kau seharusnya melihatnya tidak melanjutkan makannya tadi. Tolong, Na. Aku tidak suka merampas apa yang sudah menjadi milik orang lain," jelas Dirga lagi.
"Dia kakak ku. Tentu saja dia sangat posesif padaku. Kau juga punya adik perempuan, dan aku yakin kau akan sangat posesif padanya saat dia beranjak remaja nanti," jelas Nana.
"Ya. Tetapi dia berbeda. Alex sepertinya sangat mencintaimu. Aku tidak percaya dia kakakmu. Berapa selisih usia kalian? Alex murid yang sangat cemerlang. Tidak mungkin dia pernah tidak naik kelas, kan." Dirga terus mendesak.
Nana tertawa kecil. "Al memang pintar. Tapi bukan berarti juga dia tidak pernah tidak naik kelas, karena dia sangat rajin membolos sekolah," jelas Nana.
Jadi sekarang Nana menjelekkanku di depan Dirga, batinku pahit.
"Aku masih belum yakin," jawab Dirga. "Aku hanya ingin mengatakan padamu, aku sangat sangat menghargai Alexandro. Dia lawan yang tangguh, aku akui itu. Karenanya aku tidak ingin menusuknya dari belakang dengan merebutmu diam-diam."
"Ah terserah kau saja. Yang penting aku sudah bilang padamu, dia kakakku. Terserah kau mau percaya atau tidak."
Gejolak emosi semakin meluap, membakar, bukan hanya kepalaku tetapi juga seluruh sarafku. Ucapan-ucapan Nana seolah menggiring opini bahwa dia siap menawarkan diri untuk menjadi pacar Dirga.
Aku tak mampu lagi bertahan. Aku berdiri seketika, berjalan memutar dan menghampiri Nana dan Dirga, jauh dari arah depannya. Aku berharap Nana siap dengan kedatanganku.
"Hi Kak. Kau mencariku?" Nana seketika berdiri dan memegang lenganku. Dia pasti bisa membaca raut kemarahan di wajahku. Bagus sekali aku memberinya peringatan dengan datang dari arah depan.
"Kembali ke hotel!" kataku dingin padanya.
"Tapi aku masih ingin di sini. Kami hanya menikmati jalan-jalan saja," rengeknya dengan cemberut, sambil bergelayut di lenganku. Dia mengingatkanku pada Sasha. Itu bukan dia. Sama sekali bukan Nana jika dia merengek sambil bergelayut manja. Ini benar-benar menjijikkan. Apakah Nana sedang berakting di depan Dirga.
Aku menatap Nana marah. "Kembali ke hotel sekarang juga, aku bilang."
"Tapi aku belum mau pergi, Kak. Cuacanya bagus dan udaranya segar. Pemandangannya sungguh indah. Aku ingin menikmatinya sebentar lagi."
Nana melepas tangannya, cemberut sambil menghentakkan kaki. Matanya menatapku kecewa.
"Kami tidak melakukan apapun, Bung. Hanya menghirup udara segar," Dirga mengangkat kedua tangannya, menenangkanku.
"Aku sedang berbicara padanya," jawabku dingin sambil tetap menatap mata Nana dengan galak.
Nana mundur selangkah dariku, berkacak pinggang di hadapanku.
"Kau bisa meninggalkan kami berdua, Ga. Aku akan menemuimu nanti. Maafkan aku, tetapi aku harus mengurus kakakku yang menyebalkan ini."
Matanya membelalak menatapku, tetapi suaranya begitu lembut berbicara pada Dirga.
"Baiklah. Jangan bertengkar, kalian berdua. Ini tempat asing, bukan wilayah kita. Kita tidak tahu bagaimana hukum di sini berlaku." Dirga mengingatkan, sebelum berlalu pergi meninggalkan kami. Itu semakin membuatku panas. Dia sudah merebut perhatian Nana, dan sekarang mencoba menggurui kami. Aku menjawabnya dengan dengusan kesal.
"Sekarang apa maumu?" tanya Nana sinis, setelah Dirga bergerak menjauh.
"Aku tidak suka kau terlalu dekat dengan Dirga. Kau baru mengenalnya beberapa hari dan tidak tahu dia laki-laki baik-baik atau bukan," kataku tegas.
Nana menggeleng, senyumnya mencibir. "Dan apa pedulimu?" tanyanya.
Apa maksud Nana apa peduliku. Apa dia pikir aku tidak pernah peduli padanya. Sudah gilakah dia.
"Apa maksudmu?" desisku.
"Aku tidak pernah keberatan kau dekat dengan siapa saja. Bahkan jika kau berpacaran dengan Sasha sekalipun, aku tidak peduli walau aku tahu itu menyakitiku. Tetapi aku tahu aku tidak memiliki hak apapun untuk melarangmu. Aku tahu diri tentang siapa aku ini."
"Aku tidak pernah berpacaran dengan Sasha!" protesku.
"Dan aku juga tidak pernah keberatan kalaupun kau melakukannya," Nana mulai berteriak.