"Kaaaakkk...!" Aku dan Lucy berteriak serempak saat melihat tubuh Alex meluncur turun.
Aku mendorong Lucy yang menghalangi di depanku, berlari mendahului semua orang dan meluncur menuruni tangga.
Kakiku lumpuh seketika saat aku melihat darah segar mengalir dari pelipis Alex, membasahi ubin dan sebagian wajahnya. Kakiku terjatuh pada lututku, tubuhku lemas dan gemetar.
Mang Ujang berlari mendekat, melempar selang di tangannya.
"Mas. Ya Allah mas Alex," pekiknya gemetaran.
"Minggir anak haram. Semua ini gara-gara kamu!" Sebuah teriakan memekakkan telingaku diikuti dorongan kuat. Mama Alex menjauhkanku dari tubuh berdarah anaknya.
"Cepat-cepat. Bawa ke dalam mobil, Mang," Ayah Alex memberi perintah, menyibak kami berempat.
Ayah Alex dan mang Ujang segera mengangkat tubuh lunglai Alex.
"Tolong kepalanya lebih rendah, Pak." Aku memberi tahu, apa pun yang aku ingat tentang pelajaran P3K yang ku dapat di keanggotaan PMR. Aku hanya berharap semoga ingatanku tidak kacau.
"Tolong handuk kecil atau kain panjang yang menyerap." Aku meminta pada bibi yang tersedu-sedu di sisi tangga. Wanita itu segera berlari masuk, sementara Lucy membuka pintu mobil untuk Alex.
Begitu Alex masuk, aku berlari mengikutinya sambil membawa handuk yang diserahkan bibi dengan tergopoh-gopoh.
"Minggir kau perempuan jalang. Jangan sentuh anak ku!" teriak mama Alex.
"Mama! Untuk terakhir kalinya aku memperingatkan mama, atau aku akan melakukannya sekarang juga!" Lucy menarik mamanya dengan kasar dan menudingnya dengan berang.
Tak ada waktu bagiku untuk melerai mereka. Aku harus segera meminimalisir perdarahan di kepala Alex. Aku masuk ke dalam mobil, membebat kepala Alex dengan handuk.
"Ayo berangkat." Aku memohon, saat tatapan mataku jatuh pada mata ayah Alex.
"Mang Ujang, bawa mobil nyonya. Ikuti aku," perintah ayah Alex lagi, segera duduk di belakang kemudi dan mulai menyalakan mesin. Lucy menutup pintuku, berlari ke sisi lain dan duduk di samping ayahnya.
Mobil meluncur pergi meninggalkan mama Alex, mang Ujang dan bi Marni.
Lucy melongok ke belakang dengan cemas, menatap wajah kakaknya yang bersimbah darah.
"Apa ada air?" Aku bertanya padanya. Lucy segera mengambil sebotol air mineral dari dashboard depan, membukanya dan menyerahkannya padaku. Aku membasahi kain handuk lainnya. Masih berjongkok di sisi kepala Alex, aku mulai membasuh wajahnya yang bersimbah darah. Pelipisnya telah terbebat. Darah terserap di handuk putihnya yang kini berubah merah.
Sepertinya lama kemudian, kami berhenti di depan IGD RS terdekat. Aku melompat turun begitu mobik berhenti.
"Tolong! Cidera kepala." Aku melongok pintu IGD. Petugas dengan sigap berlari keluar membawa bed emergency. Dua orang berseragam hijau masuk ke dalam mobil dan mengangkat tubuh Alex ke atas bed. Mereka mendorongnya memasuki IGD.
"Silahkan keluarganya mendaftar dan kemudian tunggu di sini. Kami akan mengabarkan perkembangannya," jelas perawat tepat di pintu IGD.
Lima menit kemudian, mama Alex masuk bersama mang Ujang dan bi Marni. Bi Marni tampak pucat dan lebih cemas di banding mama Alex.
"Ku harap kau tidak membuat keributan di sini. Ini rumah sakit," bisik ayah Alex. Mama Alex melirikku bengis, tetapi duduk dengan diam.
Lama kemudian....
"Siapa yang bernama Nana?" tanya perawat yang melongok keluar.
Aku beranjak berdiri, tetapi ibunya mendahului dengan menabrakku.
"Saya ibunya," katanya.
"Apa anda yang bernama Nana?"
Ibu Alex menggeleng. "Saya ibunya." Dia mengulangi.
"Pasien belum siuman, Bu. Dia menyebut nama Nana. Kami memerlukannya untuk membantu pemulihannya," jelas Perawat.
Ibu Alex mendengus kesal. Dia berjalan kembali ke kursinya dengan melirikku kejam. Aku melangkah maju perlahan, mengikuti perawat memasuki ruangan.
Perawat memintaku mengenakan baju steril, kemudian dia membawaku ke samping Alex. Sudut kepala Alex telah diberi perban kotak kecil. Matanya terpejam. Selang infus tertanam di punggung tangan kirinya, sementara tangan kanannya di gips sepertiku dulu. Selebihnya, dia tampak baik-baik saja.
Aku menatapnya penuh penyesalan. Semua ini gara-gara aku. Kalau memang menjauh darinya adalah yang terbaik untuknya, maka akan ku lakukan. Aku akan membawa ibu pulang kembali ke tempat dia membesarkanku selama ini dan bersembunyi di sana selamanya.
"Dia sudah siuman. Mungkin hanya tidur. Tapi dia tidak menginginkan siapa pun berada di sana kecuali kamu. Bantu dia mengatasi traumanya." Perawat menyodorkan kursi padaku.
"Bagaimana keadaannya? Apa tangannya patah? Bagaimana dengan kepalanya?" tanyaku pelan, masih menatap tubuh Al yang terbujur lemah.
"Kondisinya sangat lemah. Dia kehilangan banyak darah karena luka robek di sisi kepalanya cukup dalam dan lebar. Beruntung tidak ada perdarahan di dalam atau pun retak. Hanya cidera kepala ringan. Ada sedikit memar otak. Sepertinya dia berusaha menahan kepalanya dengan tangan ketika membentur lantai. Itu membuat lengannya patah. Dugaan sementara kami seperti itu."
"Dia terjatuh dari mana. Apa terjadi suatu pertengkaran antara kalian?" Seseorang yang masuk dari pintu lain di dalam ruangan itu, mendekat padaku. Dia mengenakan jas dokter. Aku melirik dadanya dan tertulis di sana dr. Jonatan.
"Ya, Dok. Kami bertengkar. Maksudku, ibunya. Dia bertengkar dengan ibunya," jelasku.
"Kau kekasihnya?"
"Saya Adiknya," jelasku.
Dokter itu menatapku, sepertinya sedang mempertimbangkan jawabanku. Kemudian laki-laki itu memberi isyarat padaku untuk masuk ke ruangannya.
Dokter baya itu mempersilahkan aku duduk, sementara dia sendiri duduk di kursi dokter di balik meja, berhadapan denganku.
"Kau adiknya?" Laki-laki itu bertanya lagi, menatapku serius.
Aku mengangguk. "Lain ibu."
Akhirnya dia mengangguk, tersenyum mengerti.