Sudah dua hari sejak kepulanganku dari Rumah Sakit. Sejak Nana pamit pulang bersama ibunya, hanya sekali dia muncul di rumah sakit, itupun tidak lama. Dua hari terakhir aku di rawat, dia bahkan tidak pernah muncul sama sekali. Hingga hari ini, Anton dan Abe datang membawa sepucuk surat beramplopkan merah jambu.
Aku meremas rambutku dengan frustasi, merutuki nasip sial yang terus menerus menyiksaku. Abe menahan tanganku.
"Ayolah, brother. Ini yang terbaik untuk Nana. Dia tidak aman di sini. Relakan saja dia pergi," bisik Abe pelan.
"Aku tidak tahu," jawabku serak. Hanya itu yang mampu ku katakan, sementara tanganku yang masih dibebat meremas kertas putih dengan tulisan miring-miring itu, sekuat aku bisa.
Brak!
"Mereka tidak di rumah. Juga tidak di toko. Sialan!" Lucy mengampat marah sambil berlari masuk rumah.
Aku mendongak perlahan.
"Kau sudah mengeceknya benar-benar?" tanyaku. Lucy menjawab dengan anggukan.
"Aku bahkan hampir memecahkan kaca rumahnya. Di toko hanya tinggal pegawainya. Mereka bilang Nana dan ibu pergi ke bandara pagi-pagi tadi menggunakan taxi."
"Cek jadwal penerbangan!" Aku segera meraih ponsel dan segera berselancar, begitupun Lucy dan Abe. Anton membungkuk di belakangku, ikut membaca di ponselku.
"Penerbangan paling pagi pukul 08.45. Sekarang baru jam 8.05," pekik Abe tertahan. Aku seketika berdiri dari kursiku.
"Ayo, Ab."
Kami berempat berlarian menuju tangga, keluar garasi menuju mobil Anton.
"Biii... Kami pergi!" teriak Lucy.
"Loh, Non. Non Lucy, mas Alex," jerit bi Mirah, tergopoh-gopoh berlari dari dapur. Tapi saat dia mencapai pintu, mobil Anton sudah meluncur pergi.
"Cepatlah, Ton," desakku saat Anton mengantri di balik kemacetan pagi.
"Aku sudah berusaha, Lex. Ini tidak ada sela," serunya geram.
Kami berkendara dalam cemas. Lucy berkali-kali melirik jam tangannya, memastikan kami belum terlambat menemui Nana.
Jalanan pagi selalu saja dipenuhi kemacetan. Walaupun seharusnya para pekerja sudah masuk kantor, tetapi jam-jam seperti ini masih menjadi jam rawan macet di kotaku.
"Sial!" aku mengumpat saat jam tangan Lucy menunjukkan pk.08.35. Mobil Anton baru saja memasuki area bandara.
"Kalian turun di sini, aku akan menyusul." Anton menghentikan mobil di pinggir peron agar kami bisa masuk lebih cepat.
"Masih ada waktu lima menit. Semoga masih bisa." Lucy berbicara terengah-engah sambil berjalan setengah berlari, aku dan Abe mengikuti tepat di belakangnya.
Ini bandara Internasional. Bukan perkara mudah menemukan Nana dan ibu di tempat seluas ini.
"Kak Na...! Ibu...! Kembali." Lucy berteriak, berlari mendekati pintu boarding. Sepertinya dia memiliki ikatan yang kuat dengan mereka, sehingga bisa menemukan mereka dengan cepat.
Aku bisa melihat Nana yang berlari, bukannya kembali tetapi justru masuk. Sial! Jika mereka sudah di dalam, lenyap sudah harapan kami untuk bertemu. Masuk ke dalam sana harus memegang tiket.
"Ibu. Kumohon, Bu," rengek Lucy sambil terus berlari mendekat.
Sepertinya ibu tersentuh dengan air mata Lucy yang sudah mulai menetes. Wanita itu berhenti, menepi untuk memberi jalan antrian di belakangnya.
"Bu, kenapa kalian melakukan ini?" tanyaku putus asa.
"Maafkan aku. Tetapi ini sudah menjadi keputusan Nana dan aku tidak bisa menolaknya. Kukira ini memang yang terbaik untuk kalian, Nak. Ibu mohon." Ibu menjelaskan dengan lirih.
"Bu, kau berjanji akan menyayangiku seperti kau menyayangi Nana kan?"
"Ibu akan selalu menyayangimu, Lucy. Ibu mohon mengertilah. Mama kalian sangat menyayangi kalian. Karenanya dia bersikap seperti ini. Ibu mohon kalian bisa memahami situasinya."
"Tapi, bu..." Aku mencoba meraih tangannya, menggenggamnya sambil memohon. Dia balas menggenggamku, meremas lembut tanganku. Matanya memandang lurus langsung ke dalam mataku. Dia diam, hanya tersenyum, tetapi aku tahu dia sedang memohon pengertianku. Aku menarik nafas panjang.
"Baiklah, Bu. Aku mengerti. Tapi, bolehkah aku memohon agar Nana mau menghubungiku, tidak memblokir nomorku. Aku hanya ingin tahu bahwa kalian selalu baik-baik saja," bisikku akhirnya.
Ibu mengangguk, senyumnya begitu tulus berterima kasih.
"Tapi..." Lucy memprotes, "kak," desisnya, menatapku kecewa. Aku meraihnya, merengkuhnya dalam pelukanku.
"Tidak!" dia memberontak, "kalian tidak akan pergi," pekiknya tertahan.
"Aku menyayangimu, Lucy." Ibu tersenyum padanya, membelai pundaknya sekilas, sebelum berbalik pergi dengan berat hati.
"Bu...! Tunggu. Dengarkan aku. Aku punya rahasia yang akan menahanmu tetap di sini," teriaknya.
Ibu menoleh sejenak. "Pesawatku sudah hampir berangkat. Kami akan menghubungi kalian, segera. Aku berjanji."
"Tidak! Dengarkan aku, kumohon. Aku mengetahui sesuatu."
"Maafkan ibu, sayang." Ibu melambai sambil menitikkan air mata, sebelum memaksa dirinya untuk berbalik dan memasuki pintu gate.
"Ibu!!!" teriak Lucy, memberontak. Dia berlari, berusaha menerobos pintu gate yang di jaga tim keamanan. Oh, sial! Anak ini benar-benar memalukan.
"Lu, tenanglah, Lu. Ini tempat umum. Ayo kita pergi."
Aku dan Abe segera menahannya dan membawanya pergi. Ribuan mata menyaksikan keributan yang dibuat oleh Lucy. Lucy terisak, masih berusaha memberontak.
"Ton!" Abe berteriak saat melihat Anton celingukan di sudut peron. Dia segera berlari mendekat.
"Ada apa? Apa kalian berhasil menahannya?" tanyanya gusar.
"Bawa Lucy keluar dulu. Ambil mobilmu."
Tanpa banyak bertanya, Anton berbalik dan berlari menuju mobilnya, kami mengikutinya di belakang. Abe merangkul erat tubuh Lucy yang masih berusaha memberontak, setengah menyeretnya ke arah parkiran. Aku hanya menggenggam lengannya dengan tangan kiriku, karena tangan kananku masih di bebat.
Tepat di samping mobil Anton, Lucy terduduk dan menangis tersedu di sana.
"Lu, kau harus bisa merelakannya. Mereka akan menghubungi kita. Ingat, ini yang terbaik untuk mereka," bisikku. Lucy hanya menjawab dengan gelengan keras, masih terisak.