My Real Espresso

Kandil Sukma Ayu
Chapter #39

Gula Untuk Espreso

"SIAL!" Aku mengumpat keras. Tanpa kusadari aku bangkit berdiri dengan cepat dan berlari keluar. Aku jatuh berlutut di rerumputan, tangan kiri ku yang bebas memukul tanah dengan kekuatan yang mampu mematahkan tulang-tulangnya.

"Brother, brother. Kau tidak bisa seperti ini, Bro. Kendalikan dirimu. Kau belum benar-benar pulih," kata Abe panik, menyambar tanganku yang siap menghantam untuk kedua kali.

"Boy boy boy! Kendalikan dirimu friend." Anton menyambar lenganku satunya dan menarik ku berdiri. Tetapi tubuhku seperti lumpuh. Otakku berputar-putar seperti gasing. Telingaku berdengung seolah ada lebah yang bersarang di dalamnya.

"Aku harus menemukan Nana."

"Mana bisa dengan kepala bocor dan tangan patah seperti itu. Pulihkan segera kesehatanmu, sebelum kita pergi mencari ibu dan kak, Na." Suara Lucy datang dari belakang, terdengar tenang dan angkuh seperti biasanya. Sepertinya dia sudah menguasai diri.

Aku mendongak menatapnya.

"Apa yang kau katakan ini semua benar?" tanyaku, memastikan aku tidak salah dengar.

"Kau meragukanku?" tanyanya.

"Tidak. Hanya memastikan telingaku tidak salah dengar," jawabku.

Nana tidak menjawab. Dia berjalan mendekat,duduk bersila di sampingku.

"Kau siap bertemu Mama? Apa kau kecewa?" tanyanya.

Aku menarik nafas perlahan, berfikir sejenak. Wajah mama yang selama ini merawatku, membayangi mataku. Aku melihat di dalam kepalaku, senyum mama yang tulus dan penuh sayang, walau selalu hanya sekilas dan dengan berlarian.

Dibalik itu, aku mendapati wajah ayah. Sosok pahlawan kebanggaan ku, yang selalu memahami aku walau kami hampir tidak pernah bercengkerama. Tetapi ayah selalu tahu bagaimana aku dan apa yang aku inginkan. Senyum tulus dan gagah itu, satu-satunya yang berakar di dalam hatiku, sebagai pahlawanku. Tidak mungkin sepertinya kalau dia bukanlah ayahku, bahwa aku bukan darah dagingnya yang sebenarnya. Darah kami mengalir serasa dalam satu nadi. Beriringan, selalu saling memahami walau jarang terjadi kontak diantara kami. Mana mungkin darah yang mengalir di nadiku tidak berasal dari tubuhnya.

Ayah yang tampan, berwajah bulat, dengan rambut hitam legam dan lebat, kumis dan jenggot tipis, alis mata tebal dan mata bulat bersemangat. Sosok laki-laki yang penyabar dan penuh pengertian. Benarkah dia bukan ayahku. Lalu siapa ayahku. Masih inginkah aku menemui ayah yang telah menelantarkanku bahkan semenjak aku masih di dalam kandungan.

"Kau baik, Kak?" suara Lucy memecah keheningan.

Aku menghela nafas. "Ya, Lu. Aku baik. Dan perasaanku tentang mama dan ayah juga baik-baik saja," jelasku.

"Baguslah. Aku berharap kau tidak akan pernah ingin mencari ayah bre***ek mu itu. Dia akan kembali memeras mama, kalau tahu kau memang anaknya."

"Apakah kau akan membantuku menemukan Nana?"

"Demi segalanya, kalau hingga liburan nanti mereka tak juga menghubungi kita, waktu dua minggu akan kita gunakan untuk menyisir Pekan Baru dari ujung ke ujung, Lex." Abe menepuk pundakku.

"Terima kasih telah memberitahuku semua ini, Lu. Ini sangat berharga sebagai akhir kisah ini. Jika saja ini sebuah sinetron, penonton akan puas melihat endingnya yang bahagia. Sayangnya kebahagiaan itu kini dibawa kabur oleh Nana."

"Tuhan selalu punya rencana yang lebih baik dari yang kau inginkan." Anton kembali menarik lenganku perlahan, memberiku tanda untuk beranjak. 

Aku berdiri dan mengikutinya masuk. Aku merebahkan tubuhku di sofa tempat Lucy bergelung tadi, berusaha menikmati sayatan lain yang kembali menggores lukaku.

***

Tiga bulan berlalu, tidak ada kontak sama sekali dari Nana maupun ibu. Mereka tidak dapat dihubungi, pun juga sama sekali tidak menghubungi kami.

Cidera ku hampir pulih, tetapi tidak dengan hatiku. Hatiku masih hancur dan berdarah. Sakit. Aku meringis perih setiap menoleh bangku kosong di sebelahku. Aku menatap tanganku yang dibalut tensocrepe. Tanganku sekarang patah, tapi tidak ada Nana yang duduk di sampingku, menuliskan catatan ku. Hatiku remuk, tapi tidak ada Nana yang tersenyum menghibur di sebelahku. 

Tidak ada lagi tangan jahil yang menyenggol siku saat aku mencatat, tidak ada lagi yang pura-pura membaca novel saat cewek-cewek genit berdatangan mengajakku makan, tidak ada lagi bola mata berputar saat aku mulai menggombal dengan kata-kata rayuan.

Tidak ada lagi yang suka usil menukar-nukar seragam yang tersampir di kursi saat yang lain olah raga di lapangan, membuat gelak tawa karena siapa memakai seragam dengan nama siapa. Hanya Nana yang masih sempat memikirkan untuk berbuat usil sereceh itu.

Liburan satu minggu lagi, tetapi Nana belum juga mengirim kabar. Rasanya hambar menjalani hari-hari tanpa mendengar suara tawa dan protes cerewet Nana. Semangatku padam setiap kali masuk kelas dan tidak menemukan tubuh mungil dengan senyum ceria di sudut bekang kelas.

Aku terbaring sambil menimang-nimang ponsel, masih mencoba -dengan putus asa- menghubungi nomor ponsel Nana dan ibu.

Suara mama membuyarkan lamunanku. Aku melirik jam, baru jam 4 sore. Suara mama terdengar berjalan ke arah kamarnya, sepertinya sedang berbicara di telepon.

Aku bangkit, memutuskan akan berbicara dengan mama soal Nana, juga soal aku anak siapa. Mumpung masih sore dan ayah tidak akan pulang dalam waktu dekat.

Aku mengetik pesan untuk Lucy, menyampaikan niatku, kemudian melempar ponsel ke atas bantal dan beranjak keluar menemui mama.

Satu jam kemudian....

Isak tangis mama terdengar teredam karena mama menutup mulutnya dengan kain saputangan.

"Al...." Suara mama bergetar takut. Aku menoleh perlahan padanya. Wajahnya pucat dan ketakutan.

Aku diam. Aku tak mampu berkata-kata di hadapan mama. Entah apa yang aku rasakan saat ini, gejolak antara marah dan sayang bercampur jadi satu. Aku marah. Ya, aku memiliki rasa marah kepada mama, bukan karena apa yang telah dilakukannya, tetapi lebih karena mama menghalangiku bersama Nana padahal dia tahu apa yang terjadi sebenarnya, hingga membuat Nana pergi.

"Seharusnya mama memberitahuku," bisikku kaku.

"Kau membenciku kan? Kau pasti membenciku." Air matanya mengalir semakin deras. Aku segera menariknya ke dalam satu pelukan besar.

"Aku tidak akan pernah membenci mama. Aku juga tidak akan pernah membenci ayah. Bagaimana pun kalianlah yang telah merawat dan membesarkanku. Aku hanya merasa kecewa karena sikap mama membuat Nana pergi." Aku memeluknya erat.

Mama tersedu dan mendekapku lebih erat. Wanita yang sangat kusayangi itu menangis sesenggukan di pundakku, persis seperti anak kecil.

"Maafkan mama, Al. Maafkan mama. Mama tahu mama salah, dan mama tidak akan pernah bisa menebus kesalahan mama. Mama tidak menyangka mereka akan pergi, melihat begitu sayangnya mereka kepada kalian."

"Mereka pergi karena ingin keluarga kita tenang. Mereka menjauhi keributan."

"Mama sudah berusaha untuk menerima mereka. Mama tahu mama belum bisa bersikap ramah terhadap Nana, tetapi mama selalu berusaha untuk tidak mengusirnya keluar."

"Al tahu itu sangat berat bagi mama. Al tahu sangatlah tidak mudah bagi mama menerima Nana. Al sangat menghargai usaha mama," jawabku. Mama menunduk sambil mengangguk lemah.

"Terima kasih, Al. Terima kasih. Maafkan mama menyimpan rahasia ini, dan membuat kau dan Nana tersiksa karena menganggap cinta kalian tidak akan bisa dipersatukan," bisik mama di antara isaknya.

"Mungkin memang bukan takdir Al untuk bersama Nana, Ma. Berat memang. Sakit. Mengetahui Al bisa bersama Nana, tetapi lagi-lagi terhalang oleh sesuatu, rasanya begitu menyesakkan. Tetapi Al ikhlas, Ma. Biarlah takdir Tuhan yang menjawab semua kekacauan ini," kataku pasrah. Aku benar-benar tidak ingin mama merasa bersalah tentang semua ini. Bagaimanapun dia adalah mama yang telah merawat dan membesarkanku sampai saat ini, jadi aku harus menjaga perasaannya.

Mama menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, menangis sesenggukan.

"Ini semua gara-gara mama," bisikknya di antara dekapan tangannya. Aku kembali merengkuh tubuhnya, memeluknya erat.

"Siapa yang bisa melawan takdir Tuhan, Ma," bisikku. Mama masih terisak.

"Kau pergilah menemuinya, mama akan membiayai pesawat dan penginapanmu. Apa kau mau pergi bersama Anton dan Abe. Atau Lucy sekalian. Berapa biaya yang kalian perlukan untuk itu?" Mama membuka tangannya, memperlihatkan wajahnya yang sembab.

Aku menggeleng dan tersenyum menatapnya.

"Mereka mengganti nomor ponselanya. dan tidak pernah menghubungiku dan Lucy lagi. Kami hilang kontak. Tidak mudah menemukan mereka di tempat seluas itu, Ma. Mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun."

Lihat selengkapnya