Pukul 06.40 kami sudah siap di depan pintu ruang lomba. Pukul 06.50 pintu terbuka, seluruh peserta dan pendamping dipersilahkan memasuki ruangan. Pembukaan dan pembekalan dilakukan tepat pukul 07.00 sampai pukul 07.45. Lomba akan dimulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00 dengan dua kali istirahat.
Usai pembukaan dan pembekalan kami dipersilahkan keluar ruangan dan ternyata kami tidak melakukan lomba di ruang yang sama dengan ruang pembekalan. Kami dibawa ke ruangan lain, sementara para pendamping tetap berada di ruang pembekalan.
Nana menggenggam erat tanganku saat kami memasuki ruang auditorium megah dengan meja-meja tinggi di atas panggung. Aura kompetisi yang kuat seketika terasa menusuk tulang dan mengalir deras dalam aliran darah, membuat siapa pun akan menahan nafas sejenak untuk menenangkan diri.
Aku menelan ludah, balas menggenggam tangan Nana yang terasa sedingin es.
"Jangan khawatir. Tempat ini memang didesign untuk menekan mental para peserta. Yang lemah akan gugur. Tapi kau bukan cewek seperti itu. Ingat, kita adalah yang terbaik di antara yang terbaik. Kau sudah menyingkirkan puluhan sekolah dari provinsi."
Nana mengangguk patah-patah, genggaman tangannya perlahan mengendur.
Kami di bawa ke belakang panggung, diminta menunggu sementara mereka membuka acara.
Sebentar kemudian, terdengar suara langkah-langkah kaki seperti memenuhi seluruh auditorium. Nana memejamkan mata, menggosok-gosok kedua tangannya di depan dada. Aku mengamati peserta lain, semua tampak sama tegangnya. Ada yang duduk diam di sudut, ada yang mondar mandir, ada yang berkomat-kamit sendiri sambil memejamkan mata. Tapi kebanyakan dari mereka membeku di tempatnya dengan tatapan tegang.
Sepuluh menit kemudian, MC memanggil seluruh peserta lomba untuk menempati posisi. Kami naik dengan teratur. Berada di balik meja, yang pertama tertangkap mataku adalah pasangan Menteri Pendidikan yang duduk di barisan paling depan penonton.
"Ouch!" kudengar Nana mengeluh.
Aku menoleh, tersenyum melihat Nana yang merosot.
"Ini penyemangat, sayang. Ayo kita berjuang!" bisikku.
Nana menatapku kaget.
"Ayo kita tunjukkan kepada bapak Mentri yang terhormat, bagaimana guru-guru mencetak otak anak-anaknya," bisikku lagi, tak peduli meski Nana tampak berada dalam trans.
Nana mengerjap, sadar, dan segera mengangguk yakin.
"Ya. Kau benar. Aku siap melibas semuanya!" Semangatnya naik seketika. Aku tersenyum bangga.
Empat jam yang sangat melelahkan. Sungguh perjuangan yang panjang. Lawan kami sangat tangguh. Ada enam babak yang harus kami lalui, setiap babak diberikan waktu satu jam. Pada babak pertama dan ketiga aku dan Nana kalah dengan nilai tipis. Bu Ranti dan pak Anwar menghibur kami saat istirahat makan siang, berusaha menyemangati kami dan meyakinkan kami bahwa mereka tidak kecewa. Tetapi tetap saja aku dan Nana kecewa dengan hasil yang kami raih.
Aku dan Nana berjalan menyusuri kolam setelah makan siang, duduk di tepinya dan memandang rerumputan hijau yang membentang indah di bawah rumpun hidrangea, mawar dan tulip yang dipangkas rapi. Ikan-ikan berkecipak riang di dalam air, menunggu seseorang melempar makanan. Pemandangan ini membuat otakku kacau, lebih-lebih dengan Nana di sisiku.
Aku menatap Nana. Dia memandang rumpun mawar merah dengan tatapan kosong. Atau rindu. Atau bimbang. Aku tidak tahu. Mata nana terlalu dalam untuk ditebak.
"Na.... Apa kau masih memikirkan hasil lomba?"
Nana menoleh sekilas, menggeleng.
"Masih ada dua babak lagi. Jangan khawatir."
"Aku tidak khawatir soal itu. Hanya saja aku memang sedang kacau. Jadi aku takut kita akan kalah."
"Apa yang membuatmu kacau?"
Nana menggeleng.
“Apa ada yang sedang kau pikirkan?” bisikku.
Nana kembali menggeleng, tatapannya masih terpaku pada rumpun mawar merah yang kini dihinggapi dua kupu-kupu berwarna biru.
“Katakan, tolong. Aku mungkin tidak bisa membantumu, tapi ku harap setidaknya itu akan meringankan bebanmu dan bisa membantumu kembali fokus.” Aku memohon.
Sekali lagi Nana menggeleng.
"Please...."
Nana tersenyum masam. “Itu akan mengganggumu juga,” jawabnya tenang masih tidak mengalihkan pandangannya.
“Kupastikan tidak. Sikapmu yang seperti ini lah yang justru menggangguku,” kataku yakin.
“Begitukah?” katanya, akhirnya menoleh dan menatapku.
“Tolong, Na. Aku benci kau terlalu misterius bagiku,” kataku jengkel.
“Kau lebih lagi,” protesnya.
“Beginilah aku. Tetapi aku tidak terbiasa diabaikan. Setiap gadis yang menatapku biasanya akan menatapku dengan sorot kagum, tertarik, membelalak. Aku tidak biasa diabaikan seperti kau mengabaikanku.”
"Kau begitu naif!"
"Ya. Kau tahu itu, jadi tolong beritahu aku apa yang sedang mengganggu pikiranmu kalau bukan soal lomba." Aku meraih kedua tangan Nana, menggenggamnya erat.
“Kita sedang mempersiapkan lomba, Lex!” Dia mengingatkan, menarik kasar kedua tangannya.
“Aku tidak peduli!" Aku beringsut, duduk di rerumputan menghadap kolam.
"Bagaimanapun, aku benci kenyataan kau selalu menganggapku biasa,” gumamku.
“Aku tidak seperti itu,” protes Nana, mengikuti duduk di sampingku.
“Oh, ya. Kau begitu.”
Nana diam, tidak menjawab. Dia mulai membuka bukunya dan tenggelam di dalamnya.
"Na...."
"Hmm...."
"Ku mohon."