My roommate

Garis pensil
Chapter #1

Prolog

Cahaya dari lampion itu perlahan mengecil seiring dengan jauhnya angin menyeretnya pergi. Hamparan langit serasa penuh dengan titik-titik yang berkilauan. Aku terpaku menatap lembaran gelap yang kini berusaha menghiburku malam ini. Malam yang sama dengan malam-malam yang berlalu; sunyi.

Aku menghela nafas. Sekeras apapun mengelak, nyatanya keindahan-keindahan itu hanya singgah bukan menetap. Mereka kadang melintas lebih cepat daripada kedipan mata. Setelahnya aku berkedip lagi, keindahan-keindahan itu sudah berganti dengan kekosongan yang menyiksa.

Gelap. Dunia ini gelap. Manusia sering kali bepura-pura tertawa dan bahagia. Mereka tidak benar-benar menemukan kebahagiaan di dunia ini lebih dari batasan yang telah ditentukan. Yang pada akhirnya, mereka akan menyalahkan sesuatu yang pergi. Mengutuknya dan menjadikannya alasan menyalahkan takdir yang telah tertata rapi jauh sebelum manusia dilahirkan.

Aku berusaha untuk mengerti, meski tidak tau apa aku sudah melakukannya atau hanya sebatas bicara. Selama belasan tahun disiksa dengan kenyataan bahwa aku tidak mampu mengenali wajah-wajah mereka yang kurindukan. Bukan karena aku buta dan tidak bisa melihat. Kornea dan lensa mataku bahkan baik-baik saja.

Terkadang rasa sakit memang tidak bisa dimengerti sejak awal. Hanya sampai kita merasa terbiasa dan mulai mengacuhkan, kita baru akan diberi petunjuk kenapa rasa sakit semacam itu ada dalam hati manusia. Marah, kecewa, sedih, hanya sebagian dari emosi. Dan yang akan menjadi titik terendah manusia tetaplah pikiran mereka sendiri.

Aku tidak berpikir menjadi orang yang paling menderita di dunia ini hingga mimpi-mimpi itu ikut mengacaukan isi kepalaku. Kejadian demi kejadian menghantuiku. Masa depan seseorang yang terlihat nyata  di bawah alam sadarku selalu membuatku gelisah. Aku bisa menyaksikan mereka jatuh, hancur dan hampa. Sayangnya wajah-wajah mereka masih sama. Mereka samar, buram, sama sekali tidak berbaca.

Sejak dulu aku berusaha mengindahkan bahwa mimpi-mimpi buruk itu bukanlah keistimewaan yang diberikan Tuhan. Bagaimana mungkin bermimpi buruk terhadap seseorang dikatakan sebuah keistimewaan? Aku tidak suka tidur. Karena andai aku tertidur, mimpi-mimpi itu pasti akan berdatangan. Aku selalu ketakutan hingga Kak Hanan kadang memberiku obat penenang.

Dan kali ini, aku bermimpi lagi. Aku melihat seorang laki-laki berjalan menghampiriku. Aku mengerutkan alis, samar-samar dia memanggil namaku. Laki-laki itu mengubah langkahnya menjadi berlari saat jarak kami sudah semakin dekat.

“Thalia?!” pekiknya tiba-tiba langsung memelukku dari belakang.

Aku bergeming.

Lihat selengkapnya