My roommate

Garis pensil
Chapter #2

Akad nikah

“Saya terima nikah dan kawinnya, Thalia Arabella binti Hermawan Aldinata dengan mas kawin tersebut, tunai.”

Laki-laki itu menatap para saksi dan mereka mengangguk seraya mengatakan sah. Semua orang mengangkat tangan, membaca doa pernikahan yang dipimpin oleh pamannya. Dimas menunduk dalam usai mengusap wajahnya sebagai penutup dari amin-nya. 

“Saya titip Thalia ya, Dim.”

Dimas memandang seseorang yang duduk di depannya, laki-laki yang tadi menikahkannya dan sekarang menjadi kakak iparnya. Suasana temaram yang ada di rumah itu benar-benar kentara selepas ikatan suci itu digelar. Pernikahan Dimas hanya dihadiri beberapa orang dari keluarga inti dan tanpa ada persiapan sama sekali. Mereka hanya dinikahkan secara agama, bukan hukum negara.

“Saya masih belum mengerti kenapa ini bisa terjadi,” sahutnya. “Thalia pasti tidak mungkin menerima pernikahan ini begitu saja, Dok.”

"Panggil saya Kak mulai sekarang," Hanan mengingatkan adik iparnya.

Dimas menghela nafas menatapnya.

“Suatu saat kamu akan mengerti kenapa saya melakukan ini untuk Thalia." Hannan berusaha memberi penjelasan "Yang jelas, saya ingin kamu menggantikan posisi saya untuk Thalia. Dia perempuan yang istimewa, tolong kamu jangan biarkan dia menghadapi semua ini sendirian. Dan sesuai janji saya, saya akan berusaha memberikan pengobatan terbaik termasuk mencarikan pendonor yang cocok untuk ibu kamu.” Hannan berpindah pada seseorang yang duduk tepat di belakang Dimas, ibunya---Astri atau yang saat ini bekerja untuk keluarganya di rumah.

Dimas menoleh pada ibunya, kemudian pada seseorang yang tadi membacakan do’a. Waktu Dimas menghubungi keluarga mereka satu-satunya itu, pamannya sempat tertawa. Ini benar-benar menjadi pernikahan dadakan yang tidak disangka-sangka.

Mungkin juga akan menginspirasinya untuk menjadikan kisah kehidupannya sebuah buku. Dimas pikir semua yang terjadi akhir-akhir ini adalah fiksi, rasanya tidak masuk akal sama sekali untuk dihadirkan ke dunia nyata.

“Saya beberapa hari bakal tidak ada di rumah dan Rania juga akan tinggal di apartemennya untuk kembali bekerja. Jadi, saya minta tolong sama kamu—“

“Rania bakal tetep tidur di rumah dan Kak Hanan masih bisa minta tolong sama Rania,” potong seseorang dari tangga.

Mereka semua memandang perempuan itu, Rania.

“Bagaimana kondisi Thalia?” tanya Hannan tenang, namun tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran itu dari wajah wajahnya.

“Pikirkan kondisi Kakak mulai sekarang. Rania nggak setuju Kak Hannan ke luar kota besok.”

“Rania, Kakak ada seminar penting dan nggak mungkin Kakak sampe nggak datang.”

“Kakak sengaja kan nikahin Thalia biar bisa lari dari ini semua. Kakak pasti takut kan, mimpi Thalia bakal jadi kenyataan?”

Perempuan itu menuruni sisa anak tangganya, kemudian berhenti di dekat meja yang menjadi bagian dari akad nikah ini. Hannan cepat berdiri, disusul dengan Dimas lalu yang lainnya. Mereka memandangi Rania. Mata perempuan itu memerah, tanda kalau dia banyak menangis hari ini.

“Rania,” panggil Hannan lembut.

“Kakak cukup ya... Rania nggak mau denger Kakak keluar kota atau kemanapun itu. Rania mau Kak Hannan ambil cuti atau mengundurkan diri sekalian dari rumah sakit.” Rania berujar tegas.

“Itu nggak mungkin Rania. Kalau kakak nggak kerja siapa yang nantinya biayain kamu sama Thalia,” Jawab Hannan lalu merevisi pembicaraannya. “Iya, oke kamu udah kerja, punya penghasilan sendiri. Thalia juga bisa bantu keuangan dengan jadi brand ammbasor hijab. Tapi aku sebagai Kakak kalian nggak mungkin ngebebanin kalian apalagi sampai begantung hidup sama kalian, Rania.”

Dimas merasa suasana ini lebih menegangkan daripada waktu Hannan menjabat tangannya tadi. Rania terlihat tampak benar-benar kecewa dengan keputusan kakaknya. Sayangnya, tidak banyak yang dia ketahui dari keluarga ini. Semua seperti teka-teki, penuh misteri tumpah tindih. 

“Kak, Kak Hannan lupa kalau papa sama mama punya perusahaan yang dijalankan orang lain. Ini udah waktunya kakak jadi seorang direktur sungguhan dan bukan cuma numpang nama atau tanda tangan berkas-berkas tanpa tau apa yang terjadi. Kak Hannan bisa ambil alih perusahaan itu, Kak.”

“Rania,” tegur Radit berusaha menghentikan adiknya dengan menahan dua tangannya di atas bahu perempuan itu. Hannan menatap intens Rania, membuat perempuan itu kelabakan cepat mengalihkan pandangan berusaha menahan perasaanya. 

Lihat selengkapnya