Suara ketukan pintu membuat Dimas terpaku. Siapa yang punya kepentingan mengunjungi paviliun? Apa Hannan sudah kembali? Dimas sibuk dengan pikirannya sendiri. Dimas sudah menghubungi dokter itu berkali-kali, bahkan media sosialnya, tapi tidak ada hasil.
“Kak Rania?” ucap Dimas terkejut begitu menarik daun pintunya masuk. Mungkin dia memang harus membiasakan panggilan itu meskipun rasanya aneh. Rania jelas-jelas lebih muda dua tahun.
“Kamu harus ikut aku sekarang,” kata Rania tanpa berpikir panjang menarik tangan Dimas. Namun seketika Dimas memberontak, melepaskan genggaman Rania dalam sekejap. Dimas kaget, Rania lebih kaget.
“Maaf, Kak,” ucap Dimas merasa bersalah.
Menatap wajah Dimas yang kaku membuatnya menghela nafas. Rania masih tidak mengubah niatnya untuk membawa Dimas sesegera mungkin untuk pergi, dia hanya mengubah caranya menarik Dimas. Tangan Rania berpegang pada kaos yang Dimas kenakan, lalu menariknya sambil berjalan. Laki-laki itu sedikit terseret, meskipun pada akhirnya mau tidak mau mengikutinya berjalan di belakang.
Dimas meringis tanpa suara, dia merasa Rania sulit sekali dibantah. Dia perempuan yang terlihat tangguh sekaligus keras kepala. “Tapi kita mau kemana, Kak?” tanya Dimas masih mengikuti langkah Rania.
“Sesuai permintaan Kak Hannan, kamu harus menjadi sosok Kak Hannan buat Thalia.” Rania menjawab datar
“Iya, tapi untuk apa kamu ngajak saya pergi?”
Perempuan itu tidak menjawab dan malah semakin menarik Dimas berjalan lebih cepat.
“Masuk,” pinta Rania tegas begitu dia membuka pintu mobil. “Masuk, cepetan.” Rania mengulang perintahnya saat Dimas diam.
Dimas yang hanya mampu memandangi sikap Rania akhirnya duduk di kursi penumpang. Mobil jazz yang dikemudikan Rania dengan cepat keluar melewati pagar. Dalam hitungan menit saja mereka sudah berada di jalan raya. Dimas menutup mulutnya rapat-rapat hingga Rania menatap ke arahnya. Dimas menoleh dan Rania dengan cepat kembali fokus kembali ke depan.
“Pak, tolong pastikan Thalia pulang di atas jam 8 malam. Saya sudah minta Ayu untuk mengajaknya jalan-jalan, bapak tolong antar kemanapun mereka pergi, ya Pak” Rania terdengar sedang bicara dengan seseorang melalui telepon, Dimas melihat daun telinganya yang mengenakan earphone bluetooth. “Makasih, Pak” ucapnya lalu melepas benda mungil itu dari sana.
Dimas masih diam, masih menyimpan suaranya dalam-dalam. Memperhatikan Rania dan secara tidak langsung teringat dengan Thalia. Perbedaan mereka terlihat berbanding terbalik. Bagaimana mungkin dia melihat Rania yang beberapa jam lalu menangis tersedu-sedu seperti remaja labil sekarang malah terlihat dingin dan serius seperti orang dewasa.
Dalam keheningan satu sama lainnya, akhirnya Rania membanting stir kemudi. Rania memarkirkan mobilnya di depan barbershop yang besarnya lebih dari tiga toko yang dijadikan satu. Seluruh dinding bagian depan tembus pandang, membuat orang-orang yang lewat dengan mudah melihat isi dari konsep interior perpaduan gaya klasik dan modern di dalamnya. Rania sudah menunggu Dimas di depan pintu masuk sementara dia masih duduk di dalam mobil. Menatap tempat yang tidak disangkanya sebesar ini untuk ukuran yang biasa dia temui di pinggiran jalan yang hanya sebatas bilik kecil dengan kaca persegi tanpa bingkai dan kursi plastik.
“Ayo cepetan, kita nggak punya banyak waktu,” kata Rania sedikit berteriak memanggil.
Dimas keluar lantas mengikuti Rania dari belakang. Dia masih curi-curi pandang memperhatikan sekelilling yang terlihat sepi dan lenggang. Dinding bata dan furnitur kayu yang mendominasi tempat itu terlihat sangat cocok dengan lighting yang mereka gunakan. Baru saja dia ingin menanyakan sesuatu, tiba-tiba Rania sudah menyeret kaosnya lagi untuk ikut dengannya menaiki tangga kecil di pojokan. Sepertinya ada tempat lain yang lebih menarik di bagian atas.
“Rania?” tegur seseorang, tapi Dimas belum melihat wajahnya.
“Kak Gino,” sahut Rania saat menginjak anak tangga terakhir lalu melepaskan tangannya. “Aku minta tolong dong Kak, buat penampilan orang ini semirip mungkin sama Kak Hannan.” Rania menoleh kepada Dimas yang berdiri lugu di sampingnya.
Rania mengambil duduk, sementara Gino masih berdiri untuk melihat Dimas. Laki-laki memperhatikannya secara terang-terangan, menilai sesuatu yang bisa dia nilai dari penampilannya yang sekarang. Dimas hanya mengenakan kaos oblong berwarna putih dan celana kain warna hitam. Gaya rambutnya juga tidak jelas dan sedikit gondrong. Sayangnya, kadar ketampanan dan postur tubuhnya mengalahkan semua yang tampak terlihat menganggu. Gino mempersilakan laki-laki itu untuk duduk.
“Siapa dia, Ran?” Gino bertanya pada Rania.
“Temen Kak Hannan,” jawab Rania asal. “Kakak bisa kan bikin penampilannya persis seperti penampilan Kak Hannan?”
“Tapi untuk apa?”
“Udahlah, aku nggak bisa ngasih tau. Pokoknya kakak buat aja dia mirip Kak Hannan.”
Gino mengerutkan alis kemudian kembali memperhatikan Dimas dari ujung kepala hingga. Gino melihat laki-laki itu mengenakan sendal jepit. Kemudian Gino tiba-tiba berpindah tempat duduk agar bisa berhadapan langsung dengan Rania, memberi kode dengan tangannya ke arah Dimas bertanya meminta penjelasan. Gino mudah melakukan itu, tapi dia penasaran untuk apa dia harus melakukannya.
Dimas memandang dua orang di depanya lurus-lurus. Sepertinya dia sudah bisa menebak apa yang harusnya dia lakukan. Menjadi sosok Hannan untuk Thalia tidak semudah yang dia pikir. Sekalipun Dimas tau Thalia adalah penderita prosopagnosia, dia juga tetap bisa membedakan orang-orang di sekitarnya. Rania pasti berpikir kalau setidaknya Thalia akan percaya kalau Dimas adalah Hannan dengan mengikuti gaya penampilan Hannan. Sementara penampilan mereka berdua diibaratkan langit dan bumi.
“Kak, ayo cepetan. Kami nggak punya waktu banyak.” Rania mendesak Gino.
“Iya, tapi jelasin dulu buat apa. Entar kalo Hannan protes gimana?” Gino masih kekeh ingin tahu.
“Nggak bakal protes, yakin deh sama aku. Dia kok yang minta Rania lakuin ini.” Sedangkan jawaban Rania malah semakin membuatnya penasaran.
“Aduh, kalian ini apa-apaan sih. Tadi baru aja Hannan datang suruh minjemin kamera sama motor lama aku. Lah sekarang, adiknya dateng minta hal aneh juga?”
“Kak Hannan kesini?” sergah Rania.
Gino mengangguk. “Dia malah sama perempuan.”