My roommate

Garis pensil
Chapter #4

Pintu rahasia

Thalia berusaha menghubungi Hannan dan operator selalu saja menyerobotnya dengan kalimat yang sama, “nomor yang anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilan---“, Thalia menurunkan ponselnya. Panggilan ke delapan belas. Seolah ada keajaiban yang datang dalam hitungan detik Thalia kembali menelpon Hannan. Nihil. Keajaiban itu tidak terjadi.

Ini kali pertama Hannan membuatnya menunggu. Selebihnya, Hannan-lah yang biasanya menunggu ponsel Thalia aktif karena laki-laki itu rutin menghubungi lima kali sehari. Mereka juga mengisi ruang chat selayaknya laki-laki dan perempuan yang berpacaran, menanyakan hal-hal receh sampai bosan. Thalia benar-benar khawatir sekarang.

Perempuan itu menuruti tangga dengan hati-hati, dengan mata fokus pada kakinya yang melangkah satu persatu. Dia membuka salah satu pintu di lantai bawah setelah mengetuknya beberapa kali. Tertulis di daun pintunya, 'Jangan masuk kecuali mendapat izin'. Itu kamar Rania. 

"Kak Rania?" panggilnya melongokkan kepalanya, melihat ke arah dalam sambil mencari-cari keberadaan seseorang di sana. "Kakak udah balik?" Thali memperhatikan seisi kamar perempuan itu yang terlihat berantakan.

Perihal Rania, Thalia tidak begitu menghiraukan. Rania memang sering pulang malam bahkan tanpa kabar lebih dulu. Hanya karena kali ini mereka berdua sama-sama tidak pulang di atas pukul 10 malam, rasanya tidak mungkin kalau Thalia tidak kepikiran. Thalia tidak pernah ditinggalkan kakaknya sendirian di rumah, jika Rania yang pergi akan ada Hannan di rumah. Begitu sebaliknya.

Sementara di sisi lain, Rania yang dicemaskan saat ini sedang terjebak dalam sesuatu yang menyebalkan. Dengan dua tangannya yang penuh tas belanjaan, dia juga harus terus mendongak hingga rasanya lehernya sakit ingin bengkok. "Cepetan, woy!" Rania berseru, namun dengan suara berbisik.

Misi mengubah penampilan Dimas untuk bisa menjadi sosok Hannan membuatnya mengeluh sejak awal. Dan anehnya Rania tetap menuruti permintaan Hannan. Dengan berbekal selembar memo yang dia dapatkan sebagai tulisan dokter di atas bantal laki-laki itu, Rania mendadak menjadi seorang asisten pribadi Dimas. Mengantarkannya ke barbershop, menemaninya memilih pakaiannya, sampai membuatkan jadwal kegiatan Dimas bersama Thalia.

Rania merasa lelah. Mustahil kalau Dimas bisa dikamuflase dengan tingkat kemiripan yang sempurna. Dan Dimas dengan segara keruwetannya selalu membuat Rania membara. Seharian penuh dia mengitari mall membeli ini dan itu dengan sikap Dimas yang selalu protes sekalipun itu dengan cara yang lemah lembut, Rania mengaku tidak sanggup. Dia selalu berpikir ingin menyerah setiap kali melihat sikap lamban Dimas. Sudah 10 menit setelah mereka mengambil tangga agar Dimas bisa masuk ke kamar Hannan di lantai dua, nyatanya laki-laki itu baru menaiki tiga anak tangga paling bawah.

"Naik lewat jendela itu pamali, Kak. Entar rumahnya dimasukin maling."

"Aduh, udah tiga kali kamu bilang itu," sahut Rania kesal.

"Ya, apa kita nggak masuk lewat depan aja. Bilang kalau pulangnya telat."

Rania berdecak. "Udah deh, Thalia nggak tau kalau kita jalan bareng. Masih ada yang perlu kubereskan sebelum kamu ketemu Thalia secara langsung."

"Kalau begitu, saya bersembunyi di paviliun aja sampai urusan kamu selesai."

"Nggak usah banyak protes deh. Udah cepet naik!" seru Rania memperkeras suaranya. Sesaat kemudian dia sadar dan memelankan suaranya lagi. "Cepetan lelet. Kalau kamu lagi tugas penyelidikan, yang ada kamu yang diduga tersangka karena sikap kamu yang plin plan kaya gini. Buruan naik, jangan main-main deh." Rania mendumel.

"Tapi ini juga bukan main-main, Kak. Orang bakal curiga sama saya yang masuk lewat jendela apalagi pakai tangga kaya gini,” jawab Dimas dengan sikap polosnya.

"Dimas, please." Rania menahan suaranya agar tidak sampai berteriak. "Kamu cuma perlu naik, bawa barang-barang ini ke atas dan tidur di atas tempat tidur Kak Hannan. Oke?"

Lagi-lagi Dimas bergeming di tempat. Bagaimana mungkin laki-laki itu dengan mudah percaya pada Rania yang mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk masuk ke rumah. Dimas berpikir kalau ini terlalu berlebihan dan sudah diluar batas wajar. Dia sudah mengikuti apa yang Rania mau dengan merubah penampilannya hingga 180 derajat bisa dikatakan berbeda. Sekarang, tidak mungkin dia juga mengikuti keinginan Rania untuk menyusup masuk ke kamar Hannan dan leluasa berada di sana. Sebenarnya apa yang ada dalam pikiran perempuan itu!

Keduanya menoleh saat mendengar suara kunci diputar, heningnya malam benar-benar membuat mereka khawatir. Rania sudah cukup was-was membuka gerbang dengan kunci cadangan dan meninggalkan mobilnya terparkir di depan gang untuk aksi yang satu ini. Pak Adul, sopir sekaligus yang biasanya jaga di depan juga tidak ada di tempat. Ditambah dia tidak bisa mengotak-atik ponsel untuk menghubungi bu Astri untuk meminta bantuan, jadilah mereka seperti orang bodoh yang mencoba berperang tanpa persiapan. Rania takut yang membuka pintu itu adalah Thalia.

Bola mata Dimas membulat, sedangkan Rania menyimpit. Keduanya sama-sama memperhatikan keadaan teras dari bayangan yang muncul di tanah. Seseorang menarik pintu itu dan membuat Rania gugup sejadi-jadinya. Dan

Dorrr

"Astaga, Bu Astri!" Desis Rania pada seseorang yang baru saja menepuk punggungnya dari belakang.

"Sini, biar ibu yang bawa barang-barangnya masuk ke dalam," kata Bu Astri ikut berbisik "Dimas, ikut ibu masuk lewat dapur."

Rania menyerahkan barang-barang itu ke tangan bu Astri dan beberapa dibawa Dimas sendiri. Bu Astri bilang kalau di depan sudah ada Pak Adul yang akan mengajak Thalia bicara. Tugas Rania selain harus segera keluar untuk membawa mobilnya masuk secara baik-baik ke dalam pagar, ialah memindahkan tangga itu dari sisi kamar Hannan. Mereka merubah rencana awal. Seharusnya memang itu yang ada dalam list rencana otaknya, entah bagaimana merasa dungu kalau terus menerus bersama Dimas.

"Non, Thalia?" Akhirnya Rania bisa merdengar suara melegakan itu, dia menghela nafas lega. "Ngapain keluar, non. Nungguin Den Hannan, ya?"

"Bapak dititipin pesan nggak sama Kak Hannan?"

"Paling Den Hannan lembur, Non. Den Hannan kan tadi siang sempat pulang lalu balik lagi ke rumah sakit." 

"Oh, ya? Kok tumben nggak kasih tau Thalia?"

"Tadi dia emang bilang sih kalau ponselnya bermasalah, jadi nggak aktif. Mungkin karena itu juga Den Hannan cuma titip pesan sama bapak suruh jagain rumah sama Non Thalia."

Lihat selengkapnya