My roommate

Garis pensil
Chapter #5

Mimpi itu kenyataan

"Kak Hannan nggak pulang juga semalam, Kak?" tanya Thalia begitu duduk di depan Rania. 

Perempuan berambut pendek itu mengangkat wajah, menghentikan aktivitas mengolesi roti dengan selai kacang kesukaannya. Rania menatap adiknya lekat-lekat. Thalia dengan mudah mengenali Rania meskipun tidak pernah mengenali wajahnya. Rania terdiam dengan pikirannya yang panjang.

"Den Hannan, Non?" Bu Astri tiba-tiba datang dan bicara. "Ada kok. Tuh, dia lagi di rumah kaca nyiram tanaman kesayangannya Enon, bunga aster putih.”

Bu Astri meletakkan mangkuk buahnya di atas meja kemudian melihat ke arah Rania. Dua perempuan itu saling bertukar pandang, menampilkan kecemasan di masing-masing manik mata mereka. Samar-samar, Rania menghela nafas untuk menenangkan diri.

"Thalia, Kakak mau nanya sesuatu sama kamu," kata Rania membuat Thalia yang baru berdiri terpaksa duduk kembali.

"Tanya soal apa, Kak?"

"Soal penyakit kamu," jawab Rania hati-hati. "Kamu masih belum bisa mengenali, Kakak? Kak Hannan atau Bu Astri?"

"Kak Rania tanya soal bagaimana aku bisa tau yang didepan aku saat ini adalah Kak Rania dan yang berdiri di sana adalah Bu Astri?" papar Thalia yang dijawab Rania anggukan kecil "Thalia hanya berusaha percaya dengan apa yang kalian katakan. Kak Rania pasti akan memanggil diri kak Rania dengan sebutan kakak dan Bu Astri juga demikian, dia bakal menyebut Thalia dengan sebutan Non"

"Lalu, bagaimana kalau Bu Astri mengubah panggilan itu. Menyebut kamu dengan sebutan lain misalnya,"

"Thalia bakal tetap bisa membedakan itu adalah Bu Astri dari tinggi dan cara berjalannya."

Rania melirik Bu Astri sebentar lalu lekas kembali pada Thalia. "Kalau Kakak?" tanya Rania lagi terdengar memastikan.

"Gaya rambut Kak Rania," jawab Thalia 

"Kalau kakak sedang di luar rumah bersama mereka yang memiliki gaya rambut sama atau bahkan perawakan sama dengan kakak, kamu masih bisa kan mengenali kakak?"

Thalia diam, memandangi wajah perempuan di depannya yang terlihat samar oleh pandangannya. Thalia lalu tiba-tiba berpindah pada leher Rania, menemukan kalung berbentuk R di sana. Thalia sedikit menyimpitkan mata.

"Maaf, Thalia.” Rania kembali bersuara. “Kakak nggak bermaksud untuk membuat kamu sedih"

Thalia mengangkat pandangannya. "It's okey. Thalia tau Kak Rania pasti khawatir. Kak Rania cuma melakukan apa yang biasanya Kak Hannan lakukan, Thalia bisa ngerti kok." 

Kalimat dari Thalia berhasil mengunci suara mereka berdua yang memandanginya sedih. Rania lantas berdiri dan memeluk Thalia dari samping. Dugaannya ternyata benar, Thalia masih belum bisa membedakan orang di sekitarnya. Meskipun itu adalah kabar yang sama menyakitkannya dengan 13 tahun lalu, paling tidak masih ada harapan kalau Thalia bisa menerima Dimas sebagai sosok Hannan dalam hidupnya untuk sementara waktu. Iya, sementara waktu. Sampai Hannan menyelesaikan urusannya.

"Kak Rania kenapa?" tanya Thalia merasa aneh dengan pelukan Rania. Pasalnya perempuan itu jarang sekali memeluk Thalia.

"Kakak nggak papa," sahut Rania melepaskan pelukannya. "Kakak cuma sedih aja karena nggak bisa berbuat apa-apa buat kesembuhan kamu."

Thalia mengangguk, mengusap tangan Rania beberapa kali. "Ya udah, Thalia ke green house dulu ya buat nemuin Kak Hannan,” ujarnya.

"Kamu nggak mau makan dulu?"

"Nanti aja. Thalia harus bicara sama Kak Hannan sekarang" Thalia buru-buru pergi.

Sepeninggal perempuan itu, Bu Astri dan Rania saling bertukar pandang. Takut-takut kalau sesuatu yang jadi beban pikirannya terjadi, Rania melangkah mengikuti Thalia menuju green house yang membumbung tinggi tepat di samping paviliun. Disusul oleh Bu Astri yang juga khawatir akan terjadi huru-hara. Mereka mengintip keadaan luar di balik tirai jendela terdekat.

Thalia sedikit berlari memasuki rumah kaca tanpa pintu itu. Langkahnya memelan dan terhenti begitu mendapati seseorang mengenakan sweater moca dari belakang, laki-laki itu memegangi alat penyiram tanaman. Dia sibuk menyemprot tanaman yang menjadi kesukaannya. Sejenak Thalia termenung.

Laki-laki itu tinggi, mungkin sedikit lebih tinggi dari Hannan jika mereka berdua berdiri berdampingan. Cahaya matahari yang menembus dinding kaca menyinari tubuhnya, seolah dia memiliki sesuatu yang berharga dalam dirinya yang perlu disoroti. Laki-laki itu berpindah dari tanaman satu ke tanaman lainnya, tersenyum. Sesekali dia menyentuh bunga yang bermekaran. Thalia mengingat dengan jelas mimpi itu dan membandingkannya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Kak Hannan?” tegur Thalia.

Laki-laki itu berbalik sambil tersenyum. “Thalia,” sahutnya senang.

Thalia melangkah mendekat dengan ragu. Perasaannya sekarang dengan perasaannya dalam mimpi itu sama sekali tidak ada yang berubah. Dia merasa aneh berhadapan dengan laki-laki itu, apalagi dengan kalimat bu Astri yang terdengar mencurigakan. Hannan. Jika itu adalah Hannan, laki-laki itu tidak mungkin berdiam diri di sana.

“Kak Hannan tumben lebih dulu kesini?” Thalia memeluk laki-laki itu. “Kak Hannan nggak kerja hari ini?”

Lihat selengkapnya