My roommate

Garis pensil
Chapter #6

Kebohongan pertama

Thalia menuruni tangga dengan tas menyampir di bahu kanannya. Perempuan itu sudah berganti pakaian dengan tunik berwana beige lengkap dengan ikat pinggang kulit melingkar di tubuhnya. Kakinya mengenakan sepatu putih dan kepalanya dibalut hijab bermotif bunga yang yang didominasi warna emas. Thalia terlihat cantik dengan riasan natural bersama lipgloss yang melapisi bibirnya.

"Kamu nggak nunggu Pak Adul dulu?" tanya Dimas kebetulan masih belum bangkit dari kursinya, meskipun di atas meja hanya tersisa nampan gelas kosong.

"Thalia mau kerumah Ayu dulu sebelum ke kampus, jadi berangkat lebih awal."

"Tapi sekarang baru pukul delapan lewat lima menit, paling sebentar lagi Pak Adul tiba. Kamu buru-buru sekali mau berangkat?"

Perkataan laki-laki itu terkesan kaku dan terlalu formal, sementara Hannan yang Thalia kenal bisa jauh lebih santai dari itu. Thalia menyimpitkan mata, dia sudah menduga. Otaknya bekerja sejak tadi, menyusun rencana terbaik untuk membuat laki-laki itu mengaku.

Thalia mendekati lemari nakas di dekat tangga lalu mengambil kunci dari sana."Ada yang harus Thalia urus," sahut Thalia

"Sama siapa?"

"Sama Kak Hannan." Thalia spontan meraih tangan Dimas.

"Tapi, kak Hannan---" kalimat Dimas terpotong begitu Thalia mengecek jam tangannya tiba-tiba.

Laki-laki itu terdiam seolah memang disuruh diam oleh Thalia yang kemudian meraih remote untuk menyalakan televisi. Dimas melihat tangan kanannya yang masih dalam genggaman Thalia. Lalu berpindah pada layar televisi yang memuncul berita.

"Untuk yang kedua kalinya jalan Paripurna menghebohkan warga sekitar. Sekitar pukul 7.35 menit lalu kembali terjadi kebakaran besar dan kali ini berhasil menghanguskan seluruh gedung SLB Negeri Jakarta . Kebakaran diduga akibat arus pendek listrik. Namun pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan lebih lanjut mengingat adanya pernyataan dari saksi di lokasi melihat terjadinya ledakan di tengah-tengah kebakaran. Dalam kejadian ini ada sekitar 5 orang yang merupakan warga sekolah mengalami luka bakar parah, dan 1 orang meninggal"

Suara penyiar di balik layar yang menjadi satu-satunya sumber suara di antara mereka. Dimas menoleh ketika perempuan itu fokus memperhatikan layar. Apa yang dikatakan Thalia ternyata benar menjadi kenyataan. Lalu apa sekarang, Thalia bisa melihat masa depan?

"Pihak sekolah---"

Thalia menekan tombol merah membuat layar itu kembali hitam. Hening menyelimuti mereka sesaat. Thalia sepertinya sedang berusaha menormalkan diri atau mungkin sedang berpikir keras. Ekspresinya tegang, tapi juga serius dalam waktu bersamaan.

"Kamu nggak papa?" tanya Dimas memberanikan diri bertanya.

Thalia melepaskan genggamannya setelah mendengar suara Dimas, itu jelas bukan suara Hannan. Thalia memicing dan memijat bagian pelipisnya. Dimas yang berpura-pura menjadi Hannan membuatnya sedikit geram. Ditambah lagi soal ingatannya tentang malam itu yang terhapus dari otaknya, kepalanya serasa sakit saat terus memaksakan diri.

"Thalia?" tanya Dimas hati-hati, dia bangkit ikut berdiri. "Kepala kamu sakit lagi?"

Thalia menoleh ke arah Dimas yang terlihat ragu ingin menyentuhnya "Thalia harus pergi sekarang," katanya beranjak. 

"Thalia?" panggil Dimas. "Kamu mau kemana?"

Thalia tidak menghiraukan panggilan itu. Dia terus saja melangkah dengan cepat sampai Dimas harus mengekor di belakang karena khawatir. Dimas kebingungan. Bagaimana mungkin dia membiarkan Thalia pergi tanpa tau dia akan kemana. 

"Tolong kamu jaga Thalia seperti kamu menjaga ibu kamu. Saya pastikan saya juga akan melakukan itu pada Bu Astri."

"Thalia, tunggu dulu," Dimas berhasil meraih satu tangannya setelah turun dari teras "Kamu mau kemana?" tanya Dimas lagi.

Entah bagaimana Dimas kemudian melepaskan tangan itu, otak dan hatinya tiba-tiba tidak singkron. "Kamu bilang mau jalan sama Kak Hannan?" ujar Dimas ketika Thalia memperhatikannya.

"Iya, ayo kita berangkat," sahut Thalia singkat kembali meneruskan langkah. 

Dimas mendesah waktu Thalia membuka kunci mobil fortuner putih milik Hannan. Dia melupakan sesuatu yang penting. Dengan ukuran mobil sebesar itu, rasanya ngeri kalau membiarkan Thalia mengemudi. Dimas menoleh ke arah dua mobil lain yang di belakangnya. Dimas mulai merasa frustasi, mobil jenis apapun dia tetap tidak bisa menutup kenyataan kalau dia tidak bisa mengemudi.

"Kalo mau ikut, ayo" Thalia sudah membuka pintu mobil bagian kanan, tanda dia serius akan menyetir. 

"Kita kerumah Ayu maksud kamu?" tanya Dimas berjalan mendekat.

“Maybe,”

“Thalia,” ujar Dimas. “Saya rasa, saya harus ngomong ini sama kamu.”

Lihat selengkapnya