My roommate

Garis pensil
Chapter #7

Proposagnosia

Dua bulan sebelum pernikahan.....

“Kak Hannan?!” teriaknya sembari memeluk tubuh seorang lelaki jangkung dari belakang.

“Thalia? Kamu kenapa?”

“Thalia takut Kak Hannan kenapa-kenapa. Kak Hannan baik-baik aja, kan?” ujarnya bersama isak tangis yang entah sejak kapan bisa mengubah suaranya menjadi lebih parau—Hannan mengerti Thalia sedang terguncang. buruk. "Thalia tadi mimpi buruk. Dalam mimpi itu Thalia liat Kak Hannan kecelakaan. Thalia takut Kak Hannan juga bakal ninggalin Thalia sama seperti papa mama dulu.”

“Thalia,” sahut kakaknya itu dengan lembut. Dia berusaha melepaskan pelukan Thalia yang memang dirasa sangat erat sekali hingga membuat dadanya sedikit sesak.

Wajah mereka saling berhadapan. Lelaki jangkung itu menundukkan sedikit badannya agar bisa menyamai tinggi badan sang adik. Jarinya dengan lembut mengusap air mata yang membasahi pipi Thalia. Seberapa keras pun Thalia mencoba mengenali wajah orang yang ada di depannya, tetap saja dia tidak mampu. Laki-laki itu mengukir senyum kecil di bibirnya.

Dokter bilang, prosopagnosia yang diderita Thalia dipicu oleh trauma yang dia alami di masa lalu bukan karena kelainan apalagi penyakit bawaan. Ada fungsi otak di bagian kepalanya yang terganggu. Tidak ada memori ataupun ingatan wajah yang tersimpan dalam kepalanya bahkan untuk kakaknya sendiri. Semua wajah yang dilihatnya seolah diblurd, tidak ada yang jelas menurut pandangannya sekalipun mereka sering bertemu.

“Dengerin Kak Hannan,” kata Hannan. “Kak Hannan sampai kapanpun nggak bakal ninggalin Thalia. Kak Hannan bakal tetap disini bersama Thalia. Jadi, kamu nggak perlu takut. Itu cuma mimpi kan? Buktinya Kak Hannan baik-baik aja sekarang.”

“Tapi, Kak—“

“Stttssss...”Hannan memotong dengan menempelkan telunjuknya di depan bibir Thalia. “Kak Hannan tadi bilang apa? Kak Hannan baik-baik aja, Thalia nggak perlu khawatir. Okey, i will always be here for you.”

Isakan tangisnya jelas membuat Hannan kembali cemas memikirkan kondisi mental Thalia. Dengan cepat, Hannan membawa Thalia kedalam pelukannya. Laki-laki itu menepuk pelan bahu Thalia yang bergetar karena ketakutan. Memberikan sedikit kehangatan pada jiwa yang rentan sekali merasakan kerapuhan.

Sejak kepergian orangtua mereka, Thalia memang sangat dekat dengan Hannan. Mungkin karena itulah dia memposisikan Hannan sebagai sosok penganti orangtua baginya. Sosok pelindung yang akan selalu membantu melewati banyak kesulitan dalam hidupnya. Dan sosok penyayang yang akan selalu memberikan kedamaian dalam hatinya di kala semuanya terasa berat. 

“Kak Hannan janji nggak bakal ninggalin Thalia, kan?” Thalia kembali mempertanyakan hal yang sama, dengan nada sedikit lebih tenang. Sayangnya, dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan pias dalam suaranya.

Hannan masih memeluk Thalia erat, masih menepuk pelan bahu adiknya untuk terus berusaha menenangkan. Memikirkan pertanyaan Thalia yang selalu dijawabnya dengan penuh keyakinan, kali ini Hannan merasa sudah waktunya dia juga harus cemas akan janjinya. Waktu mungkin akan banyak mempengaruhi, ada kemungkinan-kemungkinan yang selalu memiliki peluang masing-masing untuk terjadi. Ada sesuatu yang tiba-tiba saja terbesit dalam kepalanya.

Hannan terdiam sunyi. Belum ada respon untuk menyanggah pertanyaan yang selalu Thalia tanyakan setiap malam seperti pengantar tidur. Dongeng pangeran kodok dan putri jelita yang hidup bahagia selamanya. Hannan memikirkan hal itu sejenak. 

Thalia kemudian merenggangkan pelukannya, memberi sedikit jarak untuk bisa memandang wajah buram milik Hannan. Thalia berusaha mendefinisikannya semirip mungkin. Alis Hannan tebal seperti miliknya. Hidungnya mancung dan bertengker kacamatanya di sana. Thalia menyentuh pipi milik Hannan.

Hannan spontan menggenggam tangan milik Thalia, memperhatikan garis wajah campuran timur tengah yang melekat di sana. Kulitnya putih, namun tidak terlalu putih. Hidungnya mancung namun tidak juga begitu besar, menyempurnakan dahi dan bentuk wajahnya yang cenderung oval. Alisnya yang sedikit lebih panjang melengkung indah menaungi dua bola matanya yang terlihat berkaca-kaca serupa memakai lensa.

Lihat selengkapnya