“Dia sendirian lagi,” ujar Mikha.
Kana yang sedang menggambar, menatap Mikha. “Siapa?”
“Tuh si aneh kelas sebelah,” tunjuk Mikha pada laki-laki yang sedang duduk sendirian di anak tangga pinggir lapangan. Laki-laki berkacamata yang terlihat sedang serius dengan kegiatannya.
“Kelas mereka juga lagi pelajaran seni rupa kayak kita kan?”
“Ya, coba ya dia sedikit ramah pasti populer deh. Sayang aja, nama dia kan sering kecantum sebagai nomor satu dan sering di sebut-sebut guru, tapi karena dia judes abis makanya enggak ada temen dan aku yakin yang mau ngecengin dia mendadak urung.”
“Guys, di belakang aja yuk ngegambarnya!!” ajak Ayu begitu datang sambil menjinjing peralatan gambarnya. “Lebih banyak objek, gue lihat banyak bunga bagus buat jadi contoh.”
“Yuk Na!” ajak Mikha sambil membereskan peralatan gambarnya.
“Kalian aja, gue mau di sini aja.”
“Ih enggak asyik di sini! Cuma ada lapangan doang, enggak ada yang cantik-cantik buat di gambar tahu.”
“Anak-anak lain pada di belakang cuma kalian aja yang di sini.”
“Dan si aneh itu,” tunjuk Mikha pada Elang.
“Oh si pintar, dia mah enggak aneh kalau selalu sendirian. Ayo, Na!”
Kana menggeleng. “Gue mau di sini aja, udah tanggung banget nih lihat gue udah mulai gambar lapangan.” Tunjuk Kana pada buku gambarnya.
“Yaudah, kalau udah beres susul kita ya.”
Kana mengangguk dan Mikha serta Ayu berlari kecil menuju gedung belakang yang terdapat beberapa tanaman sekolah.
Kana menoleh dan menatap Elang, dan tak lama Elang membalas tatapannya. Ia tersenyum kecil lalu kembali mengerjakan kegiatan gambarnya. Seandainya jika seterusnya kelas mereka di satukan seperti sekarang, pasti ia bahagia karena akan selalu bersama Elang.
Sayang mereka hanya disatukan kelas ketika pelajaran seni rupa dan olahraga saja.
Mata Kana kembali menatap Elang, sepertinya pria itu sudah selesai mengerjakan tugasnya karena kini Elang sudah menutup buku gambar dan membereskan alat mewarnainya. Pria itu kini sudah berdiri, namun sebelumnya Elang menatap Kana beberapa detik lalu pergi meninggalkan lapangan.
Kana buru-buru membereskan alat menggambarnya dan berlari cepat ke arah Elang pergi. Langkah Kana menuju sisi lain belakang gedung sekolah, di mana terdapat pavilion yang dijadikan gudang peralatan yang sudah tidak terpakai. Elang berdiri bersandar di tembok pavilion, tersenyum miring menatap Kana yang sudah datang menghampirinya.
Kana memeluk Elang, mencium aroma kekasihnya seakan-akan mereka tidak lama bertemu padahal kenyataannya sejak kemarin mereka bersama.
“Kamu gambar apa?” tanya Kana di pelukan Elang.
Elang melepaskan pelukannya, mereka duduk di lantai dan Elang memberikan bukunya pada Kana. Kana membukanya dengan rasa penasaran yang tinggi.
Kana terkesiap melihat hasil gambar Elang.
Ia tahu jika Elang adalah pria dengan sejuta bakat yang bisa membuat orang lain merasa iri. Namun ia tidak tahu jika pria itu… “Kamu bisa baca pikiran orang lain ya?”
Elang menatap bingung Kana.
Kana mengangkat buku gambar Elang dan menunjuk gambar Elang dengan tangannya. “Ini… kamu gambar ini baca pikiran aku ya?”
Elang melongo mencoba memahami apa pertanyaan Kana.