My Secret Identity

Bentang Pustaka
Chapter #2

Kembali ke Sekolah

Bangun pagi aku sudah dibuat shock oleh berita di TV. Si reporter berkata, “Seorang lelaki ditangkap karena telah menjual obat-obat yang kedaluwarsa kepada para remaja. Diduga lelaki ini mempunyai usaha apotek, tetapi tidak dapat berjalan lancar. Ia mempunyai banyak utang pada bank ....” Saat mereka menunjukkan gambar bapak preman di TV .... Oh, betapa beruntungnya aku. Hampir saja hidupku ... sebenarnya tidak begitu dalam bahaya. Sang reporter TV mengatakan bahwa obat-obat kedaluwarsa itu hanya akan menimbulkan sakit perut. Tetapi, tetap saja aku merasa beruntung. Mulai saat ini aku akan sangat bersyukur kepada Tuhan dan tidak akan mengeluh lagi. Aku berjanji!

Aku tak percaya Mom belum bangun dan menyiapkan sarapan. Perutku sudah keroncongan saat Mom mandi. Lalu, ketika kubuka kulkas, tak ada apa-apa di sana.

“Mom! Aku harus makan apa? Tidak ada apa-apa di kulkas,” teriakku dari bawah tangga. Mom masih saja di kamar mandi atas.

“Masa tidak ada apa-apa? Coba lihat, masih ada roti, tidak?” Aku mengecek tempat roti. Rotinya sudah berjamur. “Mom, rotinya sudah tidak bisa dimakan lagi.” Kutunggu lama tak ada jawaban. Pasti Mom tidak mendengarku lagi. Itu hal biasa, kalau kau anak tunggal di keluargamu sementara ayah-ibumu pekerja keras dan sibuk sepanjang waktu. Kalau aku mengeluh tentang sesuatu, Mom pasti akan memasang earphone-nya agar tidak mendengarku. Menyebalkan!

“Dad! Apa Dad tahu makanan apa yang tersisa di rumah ini?” tanyaku saat ayahku masuk ke dapur. 

“Gladist, tidak mungkin kita kehabisan makanan. Baru saja kita berbelanja.”

“Iya, tetapi itu dua minggu yang lalu.” 

Dad membuka kulkas dan akhirnya setuju denganku. “Kenapa tidak ada makanan, ya? Padahal, rasanya kemarin ....”

“Dad, aku bisa terlambat,” kataku pasrah. Dengan senyuman memohon (maksudnya memohon maaf), Dad mengeluarkan wortel dari kulkas.

“Hanya tinggal itu?”

“Jangan sedih. Nanti aku akan ke supermarket,” kata Dad sambil mencuci dua wortel untukku. Enak sekali dia berbicara. Tentu saja karena ia pasti makan di kantor. Begitu juga Mom makan makanan normal, sedangkan aku disuruh makan makanan kelinci. 

Oya, aku lupa. Harus bersyukur! Harus bersyukur! Coba kulihat segi positifnya. Setidaknya ada makanan, meskipun itu hanya wortel. Banyak anak yang tidak bisa makan. Juga wortel itu sangat menyehatkan. Hanya rasanya yang kurang. Tetapi, lebih baik daripada masakan nenek. Masakan nenek selalu lembut-lembut agar giginya dapat mengunyah. Apa saja pasti diblender.

“Hei, Glad! Kau hampir saja terlambat. Bagaimana cacarmu?” Tysha Mowne, sahabat terbaikku memanggilku Glad (senang). Katanya aku ini selalu dalam keadaan bergembira. 

Tysha selalu menungguku di gerbang sekolah. Kecuali, lima menit lagi pelajaran dimulai, baru ia meninggalkanku. Sebenarnya ia sahabat yang baik, tetapi ada juga sifat-sifatnya yang buruk. Ia juga sangat ingin tahu dan selalu waspada. Tadinya ia heran saat kutelepon untuk mengatakan bahwa aku sakit cacar. Ia bilang bahwa dulu aku sudah pernah kena cacar. Lalu, aku bilang aku terjangkit cacar jenis lain. Tetapi, kurasa ia percaya. 

“Kau sangat beruntung, Mr. Gogge mengadakan tes aljabar mendadak kemarin. Gila susahnya. Aku belum sempat belajar sama sekali. Kau paling akan mendapat tes susulan besok,” kata Tysha. 

Hore! Bukannya aku tidak bisa aljabar, tetapi nilaiku biasa-biasa saja sih, dalam pelajaran itu. Paling tidak, aku bisa mempersiapkan matang-matang untuk tes susulan besok. Kalau aku masuk kemarin dan mengerjakan tes mendadak itu tanpa belajar, mungkin saja aku dapat 0. Betapa beruntungnya aku!

Kenapa, ya, aku beruntung sekali? Aku tidak menemukan koin keberuntungan atau apa. Aku juga tidak membeli jimat. Mungkin Tuhan ingin memberiku hadiah karena aku tidak mengeluh memakan wortel tadi pagi. Hidup ini indah!

Oooh, Darcy dan Meian datang ke arahku. Mereka adalah musuhku. “Kudengar kau tidak masuk sekolah, Glady?” kata Darcy. Kalau Tysha memanggilku Glad, Darcy dan Meian memanggilku Glady. Tidak tahu Glady itu artinya apa. 

“Sayang, kau melewatkan tes aljabar Mr. Gogge. Kudengar tes susulannya lebih susah lagi,” kata Meian dengan nada mengejek. 

Aku mengingat-ingat kembali mengapa aku bisa bermusuhan dengan Darcy dan Meian, murid paling kaya di sekolah. Paling kaya berarti paling populer. Padahal, kalau bermusuhan dengan anak populer itu sangat berisiko. Kalau saja aku bermusuhan dengan seorang anak yang pemalu dan tidak macam-macam, hidupku mungkin akan sempurna. 

Sekarang aku ingat. Kalau tidak salah, permusuhan kami dimulai sejak kali pertama bertemu di kelas VII. Darcy dan Meian langsung mendapat banyak teman baru karena kekayaan mereka. Sedangkan, aku tetap berteman dengan Tysha sejak SD dan tidak menambah teman baru. Lalu, saat makan siang, aku dan Tysha memilih meja tempat kami ingin duduk. Tiba-tiba saja Darcy dan Meian mengatakan kepada kami untuk minggir jauh-jauh karena mereka ingin duduk di meja kami. Sangat menyebalkan! Mereka kira mereka siapa?

Singkat cerita, setelah perdebatan yang panjang—sangat-sangat-sangat panjang—Darcy mendorongku agar aku terjatuh dari kursi dan aku memang jatuh. Keras sekali. Tetapi, itu belum semuanya. Aku sedang memegang minumanku saat Darcy mendorongku. Orange jus itu tumpah ke baju ungu Meian yang mahal. Di depan semua orang! Tentu saja Meian ditertawakan. Sejak itu kami bermusuhan. Padahal, menurut pendapatku, harusnya Darcy dan Meian yang bermusuhan. Kan, gara-gara Darcy jus itu tumpah dari tanganku. Sepele sekali, kan, alasan permusuhan kami? 

Lihat selengkapnya