Daniel mencicip sepotong bakwan jagung dari bekal makan siang Suri yang ia tinggalkan di teras rumahnya. Rasanya lumayan untuk tidak tega mengatakan buruk. Selain bakwan jagung ada nasi putih dan ikan dengan kuah santan yang dihias dengan tomat hijau. Daniel tak yakin rasa ikan itu akan memenuhi standar masakan yang enak, tapi karena lapar dan sedang malas membuat sarapan kecuali menyeduh secangkir kopi, ia makan juga masakan Suri. Sebenarnya laki-laki itu heran juga kenapa gadis itu repot-repot membawa bekal. Bukankah dia mendapat jatah makan siang di hotel yang makanannya jauh lebih baik? Ah, mungkin Suri sedang bosan dengan masakan hotel dan sedang ingin makan masakan rumah, pikirnya.
Atau, sebenarnya Suri memasak untuk Raka? Monster di dadanya bangkit lagi demi menyadari kemungkinan itu. Ya, barangkali Suri sedang belajar masak supaya menjadi istri yang baik buat Raka. Seharusnya pikiran itu menghilangkan nafsu makannya, tapi anehnya Daniel justru dengan lahap menghabiskan bekal makan siang itu sebagai sarapannya. Meski cara makannya sedikit brutal akibat rasa jengkel.
Ah, aku tak peduli. Aku sedang butuh energi untuk berkonsentrasi menyelesaikan laporan penelitian sebelum berangkat ke kampus. Batin Daniel.
Daniel bukannya tidak tahu kalau para mahasiswa memujanya, sedangkan mahasiswa-mahasiswa membenci dia. Risiko jadi dosen ganteng dan keren yang masih lajang memang kadang menyenangkan. Andai saja Daniel adalah pria beristri, bukan tidak mungkin mahasiswi-mahasiswi itu masih mengidolakannya. Bahkan bisa jadi lebih gila lagi. Seperti yang dialami oleh Pak Aji, atasannya di kampus yang dulu, di kota Solo.
"Ah, sialan. Kenapa juga aku tiba-tiba teringat Solo dan seluruh kenanganku di sana," gumam Daniel.
Hari ini jadwal Daniel mengajar mata kuliah Introduction to Literature untuk tiga kelas berturut-turut dari habis dzuhur hingga pukul lima. Malamnya aku mengajar di Pascasarjana. Di angka tigapuluh delapan usianya, karir akademis Daniel sudah cukup mapan dengan menjadi dosen PNS di kampus negri dan menduduki jabatan sebagai ketua jurusan Sastra Inggris. Selain itu juga dia banyak mendapat proyek penelitian. Laki-laki itu dapat menarik nafas lega dan untuk sementara puas dengan pencapaiannya sejauh ini. Tentu tidak mudah dia mendapatkannya. Ada perjalanan panjang dan berliku yang harus dialalui sebelum sampai di tempatnya saat ini.
Daniel bukan asli kelahiran kota ini maupun kelahiran daerah di propinsi ini. Asalnya jauh di seberang pulau. Dia lahir di Magetan, Jawa Timur. Selulus SMA Daniel diterima di Fakultas Ilmu Budaya jurusan Sastra Inggris di kampus paling bergengsi di Yogyakarta melalui jalur UMPTN. Sastra dan bahasa Inggris memang merukapan minatnya. Sedari bisa membaca, Daniel memang sudah terpapar berbagai macam bacaan mulai dari komik, majalah, buku. Itu karena neneknya mengelola semacam perpustakaan di rumah joglonya. Neneknya adalah wanita tercantik yang pernah dia lihat setelah ibu. Dia peranakan Jerman-Jawa. Ya, ayahnya, kakek buyut Daniel, adalah pria asal Jerman yang menikahi wanita pribumi pada jaman kolonial dulu.
Nenek sendiri yang berwajah dominan Bule menikahi lelaki Jawa asli yang kemudian melahirkan ibunya yang kemudian juga menikahi lelaki Jawa tulen. Dengan demikian lebih banyak darah Jawa yang mengalir dalam tubuh Daniel daripada darah Jerman. Tapi, Daniel masih mewarisi hidung mancung dan bola mata coklat serta rahang tegas dari kakek buyutnya. Itu menjadikannya rupawan.
“Tapi Le, wajah tampan saja tanpa otak encer dan kerja keras tidak akan membuatmu sukses,”
Itu yang selalu diingatkan nenek padaku ketika Daniel remaja dulu. Saat-saat ia mulai menyadari bahwa dirinya tampan dan banyak perempuan tertarik padanya. Nasihat nenek benar belaka. Itu berlaku di dunia akademis.
Daniel bersusah-payah untuk lulus dengan menyandang gelar sarjana. Hampir enam tahun harus dia habiskan untuk lulus dari kampus. Meski itu juga karena Daniel mengikuti program pertukaran pemuda di Jepang selama satu tahun hingga harus cuti kuliah untuk sementara. Ketika tiba saatnya mengerjakan skripsi, jalannya juga tersendat-sendat karena dosen pembimbing yang terlalu idealis.
Setelah lulus, Daniel tidak langsung berkerja di lingkungan kampus. Aku bahkan sempat menganggur selama empat bulan dan hampir saja pulang kampung untuk menggarap sawah dan meneruskan taman bacaan nenek setelah dua puluh tujuh surat lamaran kerja yang dia sebar tak berbalas. Sehari sebelum berkemas induk semang mencarinya untuk memberitahu bahwa ada telepon dari koran di Jakarta. Dadanya seketika mengembang. Keesokan harinya alih-alih naik bus ke arah timur, Daniel justru justru berkereta ke arah barat, menuju ibukota: Jakarta.
Sempat mencicipi pekerjaan sebagai wartawan di koran terbesar seluruh negri, Daniel kembali berkereta ke arah timur. Solo. Atas rekomendasi teman, dia melamar pekerjaan sebagai asisten peneliti di sebuat pusat studi budaya di kampus swasta paling moncer di kota itu. Agaknya latar belakang pendidikanku sebagai sarjana sastra dengan pengalaman meliput event-event kesenian dan budaya membuatku lolos seleksi interview.
Adalah Pak Ajidharma, kepala pusat studi budaya, yang merupakan atasan Daniel, kepada siapa dia harus bekerja. Saat itu usianya tiga puluh delapan ⸻usia yang sama dengan Daniel saat ini. Dia adalah pria Jawa yang begitu menghayati kejawaannya kendati mengajar mata kuliah-mata kuliah sastra Inggris di kampus mereka, Universitas Bina Bangsa, di mana pusat studi budaya bernaung.
Daniel senang berada di kantor PSB ini. Interiornya sangat nyeni dengan kursi kayu jati berukir dan hiasan-hiasan dinding berupa topeng, lukisan, dan wayang kulit milik Pak Ajidharma. Terdapat juga satu set kenong di sudut ruang tamu. Tempat yang sangat kondusif untuk bekerja. Bahkan ketika harus lembur mengerjakan proposal atau laporan penelitian pun Daniel tidak keberatan.