MY SHY BOY

Rexha Shaqueena
Chapter #2

Ibu

Sebuah mobil mewah menyusuri jalan satu alur dan mungkin cukup untuk masuk satu atau dua motor. lagi. Namun, sayangnya tidak ada satupun kendaraan di belakangnya atau pun di depan mobil tersebut. Ya, benar. Karena ini jalan pribadi milik seseorang bernama Nathan Safwan Saguna. Jalan ini bersuasana dingin, dan cukup berkabut, kiri-kanan pepohonan yang rindang.

Mobil itu, berhenti di depan sebuah gerbang besi yang menjulang tinggi, bagaikan pagar besi yang berada dalam dongeng yang pemiliknya merupakan nenek sihir atau ahli-ahli sihir lainnya. Supir di dalam mobil itu mengeluarkan remot kecil dalam sakunya, dan menekan tombol warna hijau. Dalam hitungan detik, gerbang besi yang tinggi da besar itu terbuka perlahan, yang menimbulkan suara mencekit akibat pergesekan antara besi. Mobil itupun melanjutkan perjalanannya, dan gerbang pun terkunci otomatis.

Dalam perjalanan setelah sekitar 350 meter, terdapat lagi satu gerbang yang terbuka otomatis, dan langsung disuguhkan dengan pemandangan taman bunga di sisi kanan maupun sisi kiri. Tapi, yang lebih luar biasanya lagi, adalah pemandangan megah rumah ini. ini seperti kastil dengan gaya yang lebih modern, suasananya terasa lebih hangat dan nyaman. Tidak se-menakutkan perjalanan sebelumnya. Supir itu, keluar dari mobil hendak membukakan pintu belakang, tapi seperti biasa, tuannya itu menolak untuk dibukakan pintu.

Turunlah lelaki dengan menggunakan hoodie hitam besar dan sebelum menggunakan kerudung hoodie, dia pun menggunakan topi baseball berwarna hitam pula, tidak ketinggalan dengan masker yang menutup wajah laki-laki berkulit putih itu.

"Terima kasih, Pak Arif," katanya lembut, dan langsung masuk ke dalam rumah. Sedangkan supir bernama Pak Arif itu hanya mengangguk tersenyum. dia berjalan ke sebuah ruangan khusus milikinya. Pintu yang terlihat berat dan terbuat dari baja itu terlihat persis seperti pintu brankas. Dia memutar-mutar lingkaran kecil untuk memasukkan kode agar pintunya terbuka, dan benar, pintu itu terlihat sangat tebal dan luar dalamnya terbuat dari baja.

Laki-laki ini adalah Nathan Safwan Saguna, ya pemilik rumah ini. Dia masuk ke dalam ruangan tersebut. Pencahayaannya kurang, namun terlihat sangat bersih. Dindingnya yang luas dihiasi banyak lukisan-lukisan yang mungkin harganya ratusan juta. Tapi ada yang lebih menarik, dua buah rak buku raksasa setinggi dan selebar ruangan ini mengisi bagian sisi kiri dan sisi kanan ruangan, dengan setiap sekat berisi banyak buku. Dia masih mengenakan hoodienya dan duduk di kursi kerja yang terlihat sangat empuk dan nyaman, selain itu meja di hadapannya mewah sekali.

Baru beberapa menit ia duduk, telpon genggam milikinya berbunyi.

"Ada apa, Pak Arif?" tanyanya yang kemudian wajahnya mengernyit tidak suka, "izinkan ayah masuk." Lanjutnya dan menutup teleponnya. Nathan pun menekan tombol di bawah meja, dan tiba-tiba sekeliling meja itu muncul dinding kaca yang melindungi Nathan dari serangan atau sentuhan luar. Nathan pun membuka kunci keamanan pintu ruangan yang mirip seperti pintu brankas itu. Hanya beberapa saat, laki-laki berperawakan jangkung, gagah, tampan, dan terlihat mirip dengan Nathan, karena memang ayahnya, datang ke hadapan Nathan dengan penuh amarah.

Brak. Dewa Saguna Dwitya, dia mendekati kaca pelindung dengan lubang-lubang melingkar, agar suara dari luar atau dari dalam bisa terdengar, dan menggebrak kaca itu dengan kuat, amarahnya pun langsung meledak. Dia pun berteriak, "Keluar kamu, Nathan! Kamu hanya bisa mengurung diri seperti itu, hah?"

"Tenanglah Ayah, Ayah tidak bisa membuat keributan seperti di depan gerbang tadi. Silakan duduk terlebih dahulu!" saran Nathan masih dengan suara rendah.

Jengkel. "Ayah langsung ke intinya saja. seperti yang ayah bilang kemarin di telpon, Ayah ingin kamu sekolah di SMA Diwtya Tama, disana ada Verel sahabat kecil kamu sekaligus keponakan kamu juga, dan kepala sekolahnya paman kamu juga."

SMA Dwitya Tama merupakan SMA swasta terbaik dan bergengsi se-Indonesia. Merupakan sekolah yang turun temurun diwariskan pada setiap generasi keluarga Dwitya, dan kali ini di percayakan pada adikanya Dewa, yakni Farhan Bastian Dwitya.

"Keputusan Nathan sudah bulat, ayah. Nathan tidak sanggup untuk berbaur dengan mereka."

"Bagaimana kamu bisa aku wariskan perusahaan ini, jika kamu saja tidak bisa disentuh. Bahkan oleh Ayah!" katanya frustrasi.

Iya, benar. Nathan takut terhadap sentuhan manusia. Jika ada yang menyetuhnya tanpa menggunakan sarung tangan, kulitnya akan bereaksi berlebihan. Dengan muncul ruam di area yang disentuh dan terasa gatal ke seluruh tubuh, bahkan bisa sampai kesulitan bernafas, bahkan sampai pingsan.

"Nathan bisa mengerjakan semuanya di rumah, yah. Itu tidak jadi masalah untuk Nathan," sanggah Nathan dengan tenang.

"Tapi, tidak untuk yang lain!" bentaknya yang mengusap wajah dengan gusar, "mana ada pegawai yang mau punya pemimpin sakit mental seperti kamu!"

Mendengar kata 'sakit mental', emosi Nathan cukup tersulut. "Sakit mental?" tanya Nathan berat.

"Iya, sakit mental. Mental kamu itu cacat, Nathan!"

"Berhenti menyebut saya... sakit mental!" Nathan berdiri dari duduknya, "ayah pikir, saya berubah seperti ini, karena siapa? Ini gara-gara mereka semua orang menusuk saya, termasuk Ayah. Ayah bersekongkol untuk membunuh Ibu dengan para bedebah itu, kan! Serakah! HINA!"

"Jaga ucapan kamu! Kamu gak tahu apa-apa!"

"Tidak tahu apa-apa? Ayah pikir saya bodoh?" Amarah Nathan semakin bergejolak. Nafasnya memburu dan dadanya naik turun.

"Terserah, pembicaraan ini tidak akan ada habisnya. Ingat Nathan, jika kamu ingin tahu yang sebenarnya, paksakan diri kamu untuk sekolah di sana. Mungkin, petunjuk Ibu terbunuh ada di sana." Dewa pergi menjauh, namun berbalik lagi, dan mengatakan, "kamu tidak tahu, Nathan. Seberapa dalam ayah mencintai ibumu, Rachel. Ayah tidak akan melakukan hal ini, jika ayah tidak menyayangi ibumu dan 'kamu'." Dewa pun menghilang di balik pintu.

Lihat selengkapnya