Mada menunduk, sesekali melirik Laksa dan ibunya bergantian. Mereka kini duduk melingkar di meja makan. Bukan salah siapa-siapa kalau tiba-tiba ibu mendengar ocehan tidak jelas Mada. Toh, bungsu keluarga itu tak tahu-menahu kalau penghuni rumah sederhananya telah lengkap sebelum waktunya. Meski nanti di kamar akan ada perang saudara kesekian kali, Mada tetap tenang dan menunggu pembahasan dari orang tua tunggal si kembar.
"Laksa nggak mau cerita dulu ke Ibu?" tanya wanita paruh baya yang belum mengganti pakaian kerjanya.
"Cerita apa? Nggak ada masalah."
"Tadi Mada--"
"Kalau gitu tanya ke Mada, lah. Ibu denger dari dia, kan?"
"Nak, pelankan suaramu!" Ibu menegur, lalu mendekat dan meletakkan punggung tangannya pada dahi Laksa. "Badanmu panas."
"Iya, aku emang sakit, tapi sakit biasa. Aku nggak kenapa-napa."
"Itu urusan dokter, yang penting kamu periksa dulu. Ayo!"
Laksa segera berdiri dan menghempas tangan sang ibu yang berusaha menarik lengannya. "Ibu jangan gini lagi, aku nggak suka."
"Tapi kata Mada tadi kamu sering mimisan, kan? Kamu lupa dulu gejalanya gimana?"
"Menurut Ibu, aku bisa ngelupain hal-hal kayak gitu? Aku hampir mati gara-garanya dan Ibu masih nanya?"
"Laksa, maksud Ibu nggak gitu, tapi--"
"Mada cuma ngomong kosong. Aku yang paling tau sama badanku sendiri. Ibu nggak perlu khawatir."
Mada tertegun. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia benci segala hal yang Laksa ucapkan hari ini. Tentang cara bicara lelaki itu pada ibunya, tentang tuduhan kalau ia asal bicara, dan tentang pengakuan bahwa Laksa paling tahu tentang keadaannya sendiri. Bullshit, batin Mada saat jelas-jelas mendengarnya.
Selain Laksa, Mada turut tahu apa yang terjadi. Mungkin, ia memang tidak merasakannya, tetapi hampir 24 jam mereka menghabiskan waktu bersama. Andai rasa sakit itu bisa menular, tidak menutup kemungkinan Mada akan ikut rentan dan mudah tumbang. Sayangnya, makhluk kecil yang menggemaskan sepertinya lebih cocok menjadi pembangkit suasana hati, dibanding terkurung di kesuraman hidup.
Lelaki itu pun menghampiri duduk ibunya dan memeluk dari belakang. Tanpa suara, ia menyandarkan kepalanya pada bahu wanita yang telah melahirkannya tersebut. Mada yakin, meski terlihat tegar dengan senyum tipisnya yang menawan, ibu menahan tangis yang tidak dapat diungkapkan. Ia menjadi saksi, bagaimana sang ibu selalu kalang kabut saat Laksa tiba-tiba demam, tiba-tiba mimisan, tiba-tiba pingsan, dan tiba-tiba yang lain. Ia juga menjadi penyambung ketika sang ibu tak dapat menjaga kakak kembarnya itu. Mada sudah terbiasa.
"Biar Mada yang bicara sama dia, ya, Bu," ucapnya setelah beberapa saat.