Laksa terus mencoret-coret kertas bekas yang berisi hasil perhitungan soal matematika. Pandangannya kosong, menatap lantai seolah mencari jawaban. Sejak kemarin, tepatnya saat mendengar percakapan ibu di telepon, ia terus kepikiran akan kalimat yang terdengar. Sayang, tidak ada penjelasan yang muncul. Ibunya hanya menyuruh untuk istirahat, lalu keluar lagi ke tempat kerja.
Saat ia mencoba bertanya pada Mada, lelaki itu memilih mengangkat bahu dan menggeleng, padahal Laksa yakin bahwa kembarannya juga mendengarkan. Apa pun itu, ia tidak bisa tidur nyenyak dan berakhir letih sebelum waktunya di sekolah. Bahkan, bel istirahat yang seharusnya tak mendatangkan masalah tiba-tiba membuatnya pening. Sudah berulang kali Laksa mengumpat, tetapi lama-kelamaan ia dapat bersahabat dengan sakitnya.
"Ternyata di sini."
Laksa terkesiap, lalu mendongak. Ia tersenyum sekilas saat Mada menghampirinya. Kelas tengah sepi, semua pergi ke kantin. Hanya ia yang bertahan dengan kotak bekal yang masih utuh. Biasanya, meski tidak membeli apa pun di kantin, Laksa tetap ke sana untuk sekadar berbincang dengan kawan sekelasnya. Namun, hari ini ia tidak memiliki daya untuk itu.
"Ngapain lo ke sini? Nggak makan?"
Mada yang tidak pernah mau menerima bekal makanan bikinan ibunya segera menggeleng dan duduk di bangku kosong depan Laksa. "Lo sendiri kenapa nggak makan? Nunggu Adek suapin, ya? Sini Kakak, ak!"
"Jijik! Balik sana!"
Mada lekas meletakkan sendok berisi nasi yang sudah tersedia. Mungkin, tadi Laksa sempat ingin mengisi perut, tetapi diurungkan karena beberapa hal. Ia tidak mau banyak berpikir, yang jelas ini tidak bisa dibiarkan.
"Tadi pagi lo nggak mau sarapan. Janjinya sama Ibu bakal makan di sekolah sampai dibawain dua kotak. Sekarang gue lihat semuanya masih utuh. Lo lagi cosplay orang kelaparan apa gimana, sih?"
Laksa mendengkus. Ia segera menutup telinga menggunakan headset dan memutar lagu dengan volume yang cukup kencang. Tanpa menjawab pertanyaan Mada, ia menyandarkan kepala pada pinggiran kursi dan memejamkan mata.
"Ye, diajak ngomong malah tidur. Kalau emang se-nggak nafsu itu, bilang. Lo mau apa? Asal nggak aneh-aneh, gue beliin, tapi buat tambahan doang. Bekal dari Ibu harus tetap dimakan."
Masih tidak ada jawaban. Meski tengah duduk diam, Laksa merasa lemas dan terhuyung-huyung. Rasanya seperti ketika baru turun dari roller coaster. Alunan melodi klasik yang harusnya menenangkan malah mendatangkan dengungan yang luar biasa. Lelaki itu sontak mencengkeram celana, menyalurkan nyeri yang menjalar dari ujung ke ujung. Keringat dinginnya pun berdatangan. Sesak yang menghujam membuatnya bungkam dan tak tahu harus bagaimana.
"Sa, lo jangan kekanak-kanakan gini, dong. Ibu, tuh, udah capek banget mikirnya. Lo tau ...."
Mada mengulur kalimatnya. Ia memperhatikan gerak-gerik Laksa yang terlihat resah. Seketika ia bangkit dan berjongkok tepat di samping saudara kembarnya. Perlahan, lelaki itu menyentuh lengan Laksa dan menepuk-nepuknya lembut. Hawa panas yang cukup tinggi pun lekas menyengat dan mengganggu Mada. Ia sungguh tidak suka sensasi demikian.