My Story

Ira A. Margireta
Chapter #1

1. problem

SMA Merah Putih, 07.30 am.

Panas matahari di pagi hari menjadi keluhan semua siswa siswi. Halaman sekolah yang luas membuat semua yang ikut membersihkan lelah, letih, berderai keringat yang menetes di wajah maupun ke seluruh tubuhnya. Membersihkan dedaunan yang berjatuhan akibat musim gugur. Semua anak-anak bergotong royong tidak ada yang santai ataupun menganggur.

“Aku udah lelah,” kata Rika sambil menyeka keringatnya.

“Tinggal sedikit lagi......" kataku yang masih menyapu halaman. "Aku buang sampahnya,” kataku sambil mengangkat tempat sampah yang sudah aku kumpulkan.

"buang sendiri ya," kata Rika sambil nyengir, yang memperlihatkan gigi gisulnya padaku.

"Iya iya... Pokoknya tunggu disini, jangan duluan masuk ke kelas," kataku, dan Aku mulai berjalan meninggalkan tempat.

"Iya iya, jangan lama-lama," balas Rika.

Aku membuang sampah di penampungan sampah tepat dibelakang sekolah, begitu banyak tempat sampah dari daun bukan dari plastik atau semacamnya. “Minggir minggir minggir,” kata seorang siswa yang buru-buru membuang sampah. Aku langsung menyingkir dari mereka. Dua siswa itu mendorong gerobak sampah dengan cepat. Aku ambil tempat sampahku lalu pergi.

Rika duduk dibawah pohon rindang, angin meniup sedikit kencang membuat keringat meresap ke kulitnya. Hari ini sangat panas, membuatku tidak tahan berada dibawah terik matahari, aku selalu berpikiran, bagaimana jika negaraku ini turun salju. Pasti setiap hari main salju, kan asyik.

Rika melambaikan tangan dan akupun berjalan cepat menghampiri rika. “Ayo ke kelas," kata Rika dengan semangatnya dia mengajakku.

“Aku sangat haus," kataku, nafasku kembang kempis, padahal gak lari.

“Ayo, aku juga haus, aku beliin minuman," kata Rika sambil mengipas-ngipas dengan tangannya.

"ok" kataku menyetujuinya.

***

Aku dan Rika berjalan menuju ke kelas sambil bersenda gurau, namun saat masuk ke kelas Aku dan Rika terdiam. Teman-teman hari ini sangat sibuk mengerjakan, terlihat dari wajahnya yang begitu gugup campur takut.

“Kenapa dengan mereka?” tanya Rika penasaran,

“Aku juga gak tahu,” balasku, yang masih memperhatikan mereka.

“Teman-teman kalian ngerjain apa?" tanya Rika penasaran sambil melihat buku anak-anak di meja yang mereka kerjakan.

“Kalau udah selesai diam aja!” kata siswa itu dengan nada suara marah kesal. Aku melihat soal di bangku depanku, dan ku baca.

“Ah ini aku udah selesai” kataku yang secara langsung ku lontarkan. Tatapan mata semua tertuju ke arahku.

“Apa kau datang kesini sekedar mau pamer?” kata siswi berambut tipis bergelombang, raut mukanya kesal.

Aku berjalan ke bangkuku dan mengambil buku tulis di laci meja “ini” ucapku, aku berikan siswa yang ada di depanku, siswa yang berambut plontos itupun melihat sejenak kemudian mengambil bukuku

“Makasih,” katanya senang. Satu per satu mulai bergerombolan, berebutan bukuku. Kalau sampai berebutan, mampus aku.

“Jangan berebutan nanti bukuku sobek,” kataku khawatir. Belum sampai selesai bicara bukuku berwarna merah muda sobek jadi dua. Mereka yang terlibat menarik bukuku langsung terdiam melihat buku fisikaku yang sudah terbelah, aku pun terkejut melihat bukuku yang tak bersalah harus hancur didepan mataku.

“Heh! apa-apaan kalian!” bentak Rika sambil teriak keras, ekspresi marah terlihat jelas diwajahnya.

“Wenda memberikan jawaban ya tinggal tulis bukan malah disobek! Apa kalian akan tanggung jawab dengan bukunya!” bentaknya lagi, dia sangat marah, matanya melotot.

“Ma maafkan aku Wen,” kata siswa berambut Long Top Short Sides.

Aku hanya terdiam, aku sebenarnya mau marah tapi rasa sabar inilah yang menghentikan amarahku,.

“Kita begitu buru-buru, maafkan aku,” tambahnya.

“Apa kata maaf bisa merubah keadaan?” kata Rika, bola matanya seperti akan keluar dari matanya.

kemudia seorang perempuan berusia 40 tahun masuk ke kelas, bergaya rambut pendek bob, wajah yang terlihat dingin membuat anak-anak takut padanya. Apalagi aku yang tidak sanggup bertatap muka dengannya. Siswa siswi langsung menuju ke bangkunya masing-masing dan menata rapi, tidak ada satu inci pun meja ataupun kursi miring ataupun sampai mepet.

“Pagi,” katanya, sapaan dingin, dan suasana mencekam akan dimulai.

“Pagi bu,” balas semua dengan serentak. Mereka semua sangat ketakutan.

“Kumpulkan tugas fisikanya,” kata Bu Guru tanpa memberikan ekspresi senyum ke kami. Mereka masih terdiam di tempat, dan Bu Guru masih sibuk dengan buku absennya. salah satu dari kami belum ada yang mengumpulkan didepan, ekspresi bingung dan takut terlihat jelas di wajah mereka.

“Cepat!” teriaknya. Jantungku hampir saja mau copot.

Mereka masih ragu untuk mengumpulkan. Aku sudah tahu skenario yang akan terjadi. Pasti ada sesuatu yang akan terjadi. Dan akhirnya terpaksa anak-anak mengumpulkan buku ke depan dimeja guru.

Lihat selengkapnya