My Story

Ira A. Margireta
Chapter #8

8. kuharap bukan yang kuharapkan

Ditempat ini yang selalu dijadikan tempat terfavorit untuk nongkrong para remaja. Warna yang sangat kental dengan nuansa coklat. Aku menikmati sambil menulis dan menunggu seseorang.

Aku mulai berpacaran dengannya sudah lima bulan ini, dan kukira dia orang yang menyebalkan ternyata tidak. Jantungku tak mau berhenti, selalu gak sabar segera bertemu dengannya. Berkali-kali aku melihat pintu masuk, terkadang aku ditipu dengan orang-orang yang kukira dia.

Seorang laki-laki masuk memakai jaket dengan memakai ransel. Mencari seseorang dengan mata telanjangnya. Aku melihatnya dan aku melambaikan tanganku, dia juga langsung melihatku.

"Maaf aku telat," ekspresi menyesal terlihat di wajahnya, mungkin dia takut kalau aku akan marah. 

"Gapapa," jawabku sambil tersenyum senang. 

Dimas duduk di dekatku dan mengeluarkan bukunya dan memberikannya padaku "Ini," katanya pelan. 

"Semuanya?" tanyaku, Dimas mengangguk. Banyak buku yang dia berikan padaku. 

"Aku gak bisa mengerjakannya karena aku sibuk dengan basketku, apa kamu merasa keberatan?" katanya. 

"Enggak kok, akan aku kerjakan," aku tersenyum senang, 

“Makasih, setiap hari aku merepotkanmu, maaf,” dia seperti merasa bersalah. 

“Gapapa kok,” kuberikan senyumku lagi padanya. 

Dia selalu menemaniku disaat aku mengerjakan ini semua. Aku mulai mengerjakan tugasnya, tugas fisika yang belum tentu orang lain bisa. Menurutku ini gampang tapi kenapa semua orang gak suka, apa mereka gak mau berfikir?.

"Besok kamu mau nggak jalan-jalan ke tempat pameran denganku?" tanyanya dengan ekspresi senang. 

"Besok... Aku gak bisa," jawabku sedih. 

"Kenapa? Ada janji lain?" tanyanya penasaran. Aku mengangguk pelan, coba aja kalo gak ada janji sama Rika aku pasti bisa jalan sama dia. Kelihatannya Dimas menyembunyikan rasa kecewanya.

"Maaf," kataku menyesal. 

"Gapapa kok," katanya, dia terlihat berpura-pura baik-baik saja.

"Kalau minggu depan?" tanyanya lagi, dia berharap semoga ada waktu kosong.

"Sepertinya gak ada," jawabku.

"Ya sudah, kalau begitu minggu depan."

Semoga tidak ada rencana lain lagi.

***

Suasana kelas ramai masing-masing anak sibuk sendiri. Aku dan Rika tertawa menonton video di handphone, kemarin kita ketinggalan acara lucu di tv hingga akhirnya lihat siaran ulang di yt.

"Kemarin aku lihat Dimas sama seorang wanita," Celetuk Imel. Padahal aku fokus lihat video, entah kenapa telingaku ini mendengar perkataan Imel.

"Ya iyalah, kan Dimas pacaran sama Wenda, pasti Wenda wanita itu," kata mia sambil berkaca.

"Bukan! wanita itu bukan Wenda aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau Dimas jalan sama wanita lain, apalagi dia itu terlihat mesra banget," jelas Imel. Akupun mendengarnya dengan menahan rasa sakitku sambil berpura-pura fokus ke ponsel, Rika tertawa dengan keras melihat video itu. Mungkin karena dia fokus ke layar ponsel membuat dia tidak mendengar percakapan antara Imel dan Mia.

"Hey Wen! Lo kemarin sama Dimas gak?" kata Aurel dengan wajah dinginnya.

Aku terdiam, aku bingung mau omong apa. Jika tidak nanti mereka mikir yang bukan-bukan, jika iya faktanya aku tidak bersamanya. Dan terpaksa aku bilang....

"Tidak," aku tidak tahu dengan pola pikirku.

"Terus status lo apa?" tanya Aurel. Rika berhenti tertawa sepertinya Rika sudah menyadari percakapan ini.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Rika kepadaku seperti orang bingung.

"Kalau kamu itu pacarnya, kamu gak ada rasa marahnya?" kata Aurel.

"Kenapa marah? Apa maksudmu?" tanya Rika yang masih bingung.

"Lo tuh sahabatnya apa bukan sih, masa sahabatnya sedang sakit hati lo nya gak peka," kata Mia.

"Ada apa? Apa dimas melukaimu?" kata Rika menatapku serius.

"Aku ke toilet sebentar," kataku yang mencoba tersenyum untuk menyembunyikan kesedihanku.

***

Aku berjalan di lorong kelas kemudian tanpa sengaja aku melihat dimas sedang memandangi langit. Aku ingin menghampirinya, namun seseorang menyapa dimas duluan. 

Lihat selengkapnya