Sore hari matahari masih bersinar namun langit masih cerah, siswa siswi SMA Merah Putih berjalan pulang. Ekspresi lesu terlihat di wajah mereka. Hari ini aku tidak bersama dengan Rika. Rika harus menyelesaikan tugas kelompoknya di sekolah. Aku berjalan sendirian. Kacamata berkali-kali merosot karena hidungku yang pesek. Beruntungnya mereka yang punya hidung mancung.
Aku sudah melewati pintu gerbang dan belok ke kanan, berjalan dengan santai. Kemudian seseorang mencolek bahuku. “Hei."
Aku langsung menoleh “kenapa?” kataku mengambang.
“Kamu jalan sendiri? dimana temanmu?” kata Dimas penasaran.
“Dia masih dikelas, kenapa?” kataku, dari tadi hanya menjawab kenapa, kenapa, kenapa.
“Aku cuma mau mengajakmu pulang bersama, kamu mau?” kata Dimas merayu.
“Maaf, aku gak bisa,” kataku menolak dengan tidak melihat wajahnya.
“Kenapa? maksudku kita jalan pulang bersama sampai ke halte, kamu gak mau?” kata Dimas.
“Oh itu, ayo,” kataku, aku hanya melihat wajahnya sedikit. Akhirnya aku dan dia jalan kaki bersama menuju ke halte.
***
Di sepanjang perjalanan, aku hanya melihatnya beberapa kali. Mataku tidak bisa menatap terlalu lama. Aku takut bagaimana responnya kepadaku.
"Kamu selalu jalan kaki ke halte?" tanyanya sambil melihatku.
"iya," jawabku lirih.
"Sama Rika?"
"Iya..... terkadang juga naik sepeda,"
"Apa? sepeda? sepeda gayuh itu?"
aku mengangguk.
"Kenapa gak pakai mobil atau apa gitu,"
Aku menggelengkan kepala. "Kalau kakak? biasanya naik bus atau jalan kaki?"
"Kalau aku sih naik mobil, karena tadi bannya bocor, jadi aku naik mau bus... terus ketemu sama kamu,"
Dia yang menatap, aku yang malu.
Bus berhenti di depan halte, siswa siswi yang menunggu bus pun naik ke pintu depan. Aku dan Dimas masuk ke dalam, semua tempat duduk penuh hanya ada satu kursi kosong di samping jendela. Dimas mendorongku untuk duduk disamping jendela, dan aku pun langsung duduk. Dimas berdiri memegang gantungan pegangan tangan bus. Di dalam bus penuh desak-desakan. Aku kasihan melihatnya seperti ini. Aku begitu tega duduk dengan nyamannya, sedangkan dia harus berdiri.
Jariku menarik bajunya.
"Duduklah, biar aku yang berdiri," kataku.
"Udah tenang aja, aku gak papa kok," katanya dengan senyumnya yang manis.
Tapi, kalau aku memaksanya, mungkin dia akan sama. Sampai pemberhentian bus, dia tetap berdiri. Mungkin tangannya sudah patah tulang karenaku.
***
Dikamar yang cantik, langit-langit kamar dihiasi glow in the dark yang sangat bagus, warna dinding kamar berwarna merah muda yang cantik, buku maupun aksesoris lainnya tertata rapi. Aku sedang belajar di depan meja belajar dengan lampu bersinar terang, aku tidak bisa melihat dengan jelas jika tidak pakai kacamata.
“Wenda,” suara Rika yang tiba-tiba masuk ke ruanganku membuatku terkejut.
“Kamu mengagetkanku,” kataku. Rika menutup pintu dan berjalan menghampiriku.
“Sedang apa? jangan belajar nanti kamu makin pintar,” kata Rika, kemudian duduk ditempat tidur.
“Bukannya ini juga termasuk kewajiban kita,” kataku. Tapi dia malah membalasku dengan memenyorkan mulutnya.
“Taaara aku bawakan masker, ayo kita maskeran, ayo,” kata Rika sambil menarik tanganku dengan paksa.
Rika membuat masker yang terbuat dari bubuk dan kemudian dibuat seperti bubur. Aku mengolesi wajah Rika lalu Rika mengolesi wajahku. Aromanya asli tidak ada bau zat kimianya.
“Aku suka aromanya,” kata Rika sambil bercermin di kaca. Setelah selesai maskeran kami berdua tiduran. Terdiam sejenak sambil melihat bintang-bintang buatan yang bertaburan.