My Story

Ira A. Margireta
Chapter #4

4. Waktu yang tidak pas

Musik terlalu keras, banyak orang menatap layar komputer dengan dekat. Apa matanya gak sakit keseringan melihat layar komputer? Kenapa harus ditempat ini, aku sangat tidak berprofesional dengan hal semacam ini. Aku tidak terlalu menyukai kehidupan sosial yang penuh dengan keramaian.

Rika memesan tempat, aku dipaksa untuk duduk duluan, dia mau beli makanan. Aku duduk di nomor 19 sedangkan Rika duduk di nomor 20. Aku menyalakan cpu lalu menyala merah. Komputer menyala, kemudian aku bingung mau ngapain. Aku masih terdiam melihat sekitarku yang asyik main game. Aku sangat menyukai buku, aku gak bisa main game. Aku terlalu bodoh untuk main. Kemudian Rika datang membawa makanan, dia tahu banget apa yang kusuka. Dia sahabat yang paling mengerti.

"Ayo kita main," katanya sambil duduk.

"Main apa? Aku gak bisa main," kataku sambil melihat layar komputer yang hanya menampilkan desktop.

"Aku ajarin," kata Rika sambil menggertakkan jarinya. Apa aku sama dia akan bertanding, sepertinya dia mengajakku serius. 

Aku dan Rika main game yang biasa laki-laki main. Sekali lagi aku benar-benar bodoh dalam permainan ini, belum main aja aku sudah kalah. Seharusnya dia mengajariku duluan, dengan teganya Rika menertawakanku.

Orang-orang mencari sumber suara Rika yang tertawa lepas yang tiada akhlak dan aku menatap tajam, ekspresi marah ke dia. 

Perlahan-lahan dia berhenti sepertinya dia sudah malu dilihat orang. Membuat suara batuk cool dan kemudian mengajariku. Aku tetap memperhatikan dia dengan sorot mata sinisku. Lebih baik baca buku atau nonton film maupun drama di kamar, ketimbang main tembak-tembakkan di sini.

"Heh jangan menatapku seperti itu. Aku akan mengajarimu," kata Rika.

Aku melihat ke layar komputer, dia menjelaskan caranya bermain tapi aku tetap pada rasa marah.

"Sudah mengerti kan? Ayo kita main."

Dia memasangkan headphone untuk lebih fokus dalam bermain. Aku pun dengan cemberutnya memainkan permainan di komputer. Mataku perlahan-lahan fokus ikut dalam permainan. 

Aku mulai marah karena refleknya, aku hampir dibunuh sama Rika. Bagiku ini permainan sangat susah, ya memang aku masih pemula. Tubuhku pun lama-lama mencondongkan ke arah komputer dan wajahku semakin dekat dengan komputer, karena saking fokusnya. Tiba-tiba seseorang menarik pundakku.

"Jangan deket-deket, nanti matanya rusak loh," kemudian tersenyum lebar menampakkan gigi kelincinya. Mataku tidak bisa terpejam. Aku dibuat beku olehnya.

"Ha?" jawabku, yang masih bingung kayak orang bodoh.

"Yeay aku menang aku menang," suara Rika yang begitu senang, dia menang karena aku sedang terkejut dengan kedatangan Dimas yang tiba-tiba.

"Lo ngapain kesini!" suara Rika terdengar marah kesal. Sorot matanya tidak suka dengan kedatangan Dimas disini. "Jangan berani menyentuhnya! Ayo pergi!" dia sudah beranjak dari kursi. Tanganku dengan paksa ditarik untuk pergi.

"Tunggu! aku ingin mengatakan sesuatu padamu," Kata Dimas sambil melihat ke arahku, matanya menatapku serius. Apa yang akan dikatakannya sekarang, belum puas dia membuntutiku seperti ekor.

"Apa! Lo mau ngomong apa! Lebih baik lo berhenti buntuti dia seperti ekor!” sepertinya Rika mengetahui apa kata hatiku.

“Lo suka sama wenda?!” cetus Rika.

Aku terkejut dengan perkataan Rika yang tiba-tiba, apalagi semua mendengar perkataannya yang keras. Semua yang ada di ruangan ini melepaskan headphone, sepertinya urusanku lebih menarik untuk dipandang. Orang-orang tertuju pada kami, apa yang harus aku lakukan. Jika aku menjadi pusat perhatian orang, aku begitu gugup.

"Benar. Aku suka pada Wenda," kata dimas.

Dia menyatakan cinta padaku? Jangan, jangan disini. Kumohon aku gak mau dipermalukan. Orang-orang pada menggosipi aku.

Aku ingin mengakhiri suasana ini, aku melangkah pergi, namun…

"Apa-apaan ini? Dia menyatakan cinta disini?"

"Apa tempat ini menjadi tempat baru bagi orang yang sedang kencan? "

"menjadikan tempat warnet ini menjadi tempat dating"

Mereka mulai meggosipiku, apa yang harus kulakukan. Aku hanya terdiam mendengar perkataan mereka.

"Apa kamu mau menerimaku?" kata Dimas dengan sorot matanya serius mau berhubungan denganku. Semua orang mulai menyoraki

"Jawab jawab jawab," teriakan orang mulai menggebu. Kata jawab berulang kali, aku hanya bisa diam. Sebenarnya aku malu didepan orang seperti ini. Bagaimana ini perasaanku campur aduk. Dia terus menatapku menunggu jawabanku. Bagaimana ini.

"Sebenarnya...." aku ingin bicara namun mulutku sedikit kaku. 

“Hentikan!” bentak Rika hingga semua berhenti menyorakiku. “apa kamu pikir dengan ini dia bisa menerimamu? Tanyakan pada dirimu sendiri!” Rika melangkah maju dan membisikkan sesuatu. Aku mendengarnya seperti “kau mempermalukan dia di depan umum.” Yahh, seperti itu yang ku dengar. Rika memegang tanganku erat-erat dan membawaku pergi dari tempat ini.

***

Aku ke sekolah seperti biasanya. Namun, sekarang tampak beda. Mereka semua melihatku seperti orang aneh. Ada apa dengan mereka, apa yang salah dariku. Aku mencoba biasa saja dalam suasana seperti ini.

Aku berjalan di lorong kelas, ekspresi mereka sama seperti di halaman sekolah tadi. Ada apa ini sebenarnya, aku masih gak ngerti. Aku merasa malu dan kututupi wajahku. Sesampai di kelas, seorang laki-laki menempati kursiku. Mau apa dia kesini, apa dia masih kurang mempermalukan diriku?

Lihat selengkapnya