Matahari bersinar terang tidak ada awan yang Melintas. Semua siswa siswi melihat lomba sepak bola. Sorak sorai suara anak-anak seperti pasar ayam. Semangat begitu membara. Aku dan Rika duduk di atas.
"Laki-laki itu terlihat keren, sayangnya dia lebih muda dari aku," katanya mengeluh.
"Memangnya kenapa kalo dia masih muda?" tanyaku penasaran.
"Aku gak mau lebih tua darinya," bisiknya kepadaku.
Lalu Rika teriak menyemangati entah siapa. Kemudian Dimas datang sambil melihat ke lapangan dan duduk. Aku ingin bertanya kepadanya tapi aku takut kalau itu akan menyakiti diriku. Rasa penasaran terus menghantuiku, rasanya aku gak sanggup menanggung ini semua.
"Dimas disana, kamu gak menghampirinya?" kata Rika yang mengagetkanku yang sedang melamun.
"Enggak, aku mau disini aja, nanti kamu malah nangis aku tinggal," ejekku ke Rika untuk menutupi kebohonganku.
“Apaan sih!” balas Rika, dia kembali lagi menyemangati.
Panasnya matahari membuat anak-anak disini merasa kehausan.
"Aku gak betah disini, yuk ke kelas," kata Rika mengajakku, keringatnya di bagian dahi sudah mengalir kebawah. Apalagi yang main pastinya hujan keringat.
Saat aku pergi, aku masih melihat Dimas dari belakang. Namun dia terlihat fokus ke lapangan. Dan aku merasa kecil hati melihatnya fokus lihat bola. Tapi setidaknya lihatlah aku yang ada di belakangmu.
***
Aku berjalan di lorong kelas dengan santainya. Namun, di depan aku melihat Dimas sedang bersandar di dinding. Inginku menyapa tapi, telat. Seorang perempuan lebih dulu menghampirinya, dia perempuan yang sama waktu tempo hari.
"Kamu lagi apa?" tanya bahagia. "Kapan kamu akan putusin dia?" tambahnya.
"Apa maksudnya? siapa yang akan diputusin?" gumamku dalam hati.
"Perempuan itu aku merasa kasihan, sepertinya aku memanfaatkannya," katanya.
"Sejak kapan kamu memanfaatkannya, kamu gak memanfaatkannya. Dia itu cuma gadis culun yang bodoh, jika aku berada disampingnya dia seperti orang gila," Bicaranya Dimas yang menghinaku.
"Jangan khawatir, aku akan selalu di sampingmu," katanya sambil bermain manja dengan perempuan berambut coklat itu.
Aku melihatnya pun terasa sakit, membuat sesak di dada. Aku berbalik arah, langkah kakiku tidak jadi berjalan melewatinya, karena itu akan membuatku sakit.
***
Siang menjelang sore, kami mulai pulang sekolah. Aku dan Rika berjalan bersama bergandengan tangan sambil mengobrol.
"Bukankah itu Dimas?" tanya Rika dan akupun melihatnya dia bersama perempuan itu. "Kenapa dia bersama cewek lain?" katanya sambil melihatku.
"Entahlah," aku mencoba menutupi kekecewaanku. "Ayo, nanti kita telat," aku memaksa Rika untuk melupakan masalah ini.
“Wenda tunggu!”
***
Aku menunggunya di tempat biasa, aku melihat orang-orang berdatangan. Aku melihat jam di tanganku yang berdetak. Sudah dua jam aku menunggu, namun dia tak kunjung datang. Aku sms berkali-kali namun tak ada balasan apapun. Hanya "Ok!" di pesan terakhirnya.
Akhir-akhir ini dia juga cuek padaku. Aku berfikir apakah dia memanfaatkanku, ah rasanya tidak mungkin. Dia sungguh-sungguh mencintaiku gak mungkin dia mempermainkanku. Aku selalu berdoa semoga aku mendapatkan laki-laki terbaik. Aku harap dia salah satunya, karena aku sudah nyaman dengannya.
Dua jam berlalu, dia masih belum datang juga. Aku telpon nyambung tapi gak diangkat. Perempuan memakai sweater ungu muda dipadukan dengan celana jeans, rambut bergelombang tak lupa tas kecil yang diselempangkan. Dia datang menghampiriku.
"Kamu sudah lama disini?" katanya khawatir.
"Enggak setengah jam aku nunggu," kataku berbohong.
"Yang benar? Aku gak percaya," katanya dengan wajah sinis.
"Benar aku gak bohong," kataku meyakinkan dirinya. Memang benar aku sudah tiga jam menunggunya, tapi dia tak kunjung datang.