Didalam perjalanan aku sedang menikmati angin yang berhembus. Udara yang sejuk tidak ada polusi malah ada pemandangan yang indah di sekitarku. Musim gugur di desa sangat nyata, banyak dedaunan berjatuhan. Kukira hanya ada dua musim disini, ternyata aku salah.
Rika tertidur pulas didekatku, kepalanya bersandar di bahuku. Ibu fokus menyetir, alunan music memenuhi dalam mobil. Lagu jaman dulu mengingatkan masa lalu Ibu.
Aku ingin berfoto disini, tapi kelihatannya bagus kalau sambil bersepeda. Aku sudah lama tidak bersepeda, karena jatuh itu aku menjadi trauma. Aku harus menerima nasibku seperti ini. Andai saja aku bisa bersama seseorang yang kucintai mungkin tempat ini akan menjadi suasana romantis buat kita berdua.
Buat kita berdua apanya, dianya malah milih perempuan lain. Mengingat masa lalu seakan aku itu mau mengulanginya lagi, keras kepala banget sih aku. Sok-sok an tahu akan hal cinta. Tapi, tanpa rasa sakit ini, tidaklah berarti apa-apa. Seberapa pengorbanan kita sama dia, seberapa kita bertahan untuk disakiti.
Dan aku terlalu bodoh mempercayai kata manisnya. Apakah kebanyakan perasaan perempuan seperti ini?
***
“Wen wenda wenda," perlahan aku membuka mata, Ibu membangunkanku.
“Sudah sampai,” kata Ibu, aku melihat Rika yang sudah tidak ada di sampingku.
“Bangun bangun udah sampai," kata Rika sambil membawa barang berat, dan kulihat ternyata sudah sampai dirumah Kakek dan Nenek.
Rika sedang membawa kardus besar untuk dibawa masuk ke rumah. Aku turun dari mobil, melihat bagasi mobil sudah tidak ada.
“Apa yang kamu cari?” tanya Rika sambil mengambil tasnya di mobil.
“Dimana barangnya?” tanyaku sambil mengangkat kedua alisku.
“Aman, udah didalam, ayo,” kata Rika sambil menutup pintu sedikit keras. Rika membawa tasku sambil berlari, dan aku juga ikut lari dong gara-gara Rika.
Rumahnya sangat berdebu. Sepertinya seharian penuh atau enggak sampai besok untuk membersihkan. Debu berterbangan membuatku bersin beberapa kali.
Ibu membuka tirai. Rika sudah batuk-batuk. Ibu menyuruh pakai masker agar debu tak banyak masuk ke hidung. Aku mulai membersihkan langit-langit, sudah kututup mulut dan hidung tapi tetap saja tidak membantu.
“Sudah berapa lama sih tidak kesini?” tanya Rika, dia bicara sambil batuk-batuk.
“Mungkin 5 tahun ini,” kata Ibu sambil mengangkat kardus keluar.
“Sudah lama banget... aku sudah gak kuat,” kata Rika. Dia lari keluar, dia sesak nafas jika lama-lama didalam.
"Kamu istirahat aja, biar kami yang bersihin,” kataku.
“Gak mau, masa aku harus santai sedangkan yang lain bekerja,” katanya diluar.
Aku semakin sumpek, masker ini tidak bisa membuatku bernafas. aku melihat Ibu sudah berkeringat, sibuk mengangkat dan membersihkan sendirian. Itulah Ibuku yang gak mau merepotkan orang lain, apalagi aku anaknya.
Sampai menjelang malam, semua sudah beres. Meskipun hanya tiga perempuan saja, kita bisa menyelesaikan dalam sekejap. Lampu-lampu dinyalakan, aku dan Rika bergantian mandi. Sedangkan Ibu sedang memasak di dapur.
Rika keluar dari kamar mandi.
“Ya ampun, airnya sangat sangat dingin,” kata Rika sambil menggigil kedinginan.
“Benarkah?”
Aku sebenarnya gak berani untuk mandi, tapi badanku sudah bau. Aku gak sanggup menghirup bau badanku sendiri.
Setelah selesai mandi, aku menuju ke dapur, meminum segelas air putih.
“Yahh habis,” keluh Ibuku.
“Apa yang habis Bu?” tanyaku.
“Garamnya habis,” jawabnya sambil mencari sesuatu.
“Aku belikan,” kataku sambil mengambil jaket.
“Gak usah, besok aja, udah malam.. apalagi toko masih jauh dari rumah kita,” pungkasnya.
“Ya juga sih, apalagi aku takut kegelapan,” kataku.
Ibu menyiapkan ikan goreng, telur pedas manis, tahu goreng dan nasi. Rika datang, rambutnya terlihat keriting saat basah.
“Wow, enak nih,” kata rika.
Dia langsung mengambil makanan. Sepertinya dia sudah lapar, karena beres-beres rumah sudah menghabiskan tenaga.
Kami pun makan dengan lahapnya.
***
Pagi hari yang sangat cerah, aku bangun lebih awal. Tapi tetap saja aku kalah dari ibu, ibu sudah memakai pakaian jogging.
“Ibu mau kemana?” tanyaku yang sebenarnya sudah tahu kalau Ibu akan lari pagi.