“Lepaskan tanganku! apa kamu pikir aku percaya dengan mulut manismu itu!” kataku kesal sembari melepaskan pegangan tangannya. Aku berusaha pergi darinya tapi dia terus memaksaku
“Tunggu Wen tunggu Wen Wenda," kata Aril.
Aku menaiki taxi yang seharusnya aku menaiki bus di depan halte.
Aku melihatnya masih memandangi taxiku yang sudah bergerak jauh dari halte.
***
Aku keluar dari kelas, menyusul anak-anak istirahat. Dia sudah menungguku di luar dan aku menghampirinya.
“Bagaimana pelajarannya?” kata Dimas sambil mengelus rambutku, aku hanya tersenyum.
Entah kenapa aku masih menengok ke belakang, seperti ada rasa bersalah yang menyelimuti hatiku.
Aku melihat dia juga melihatku. Kenapa juga aku memikirkannya, dia juga bersandiwara padaku.
***
Langkah kakiku begitu cepat namun dia malah melangkahkan kaki dengan cepat. Aku sudah muak dengan ini semua.
“Kenapa kamu mengikutiku? Apa yang ingin kau katakan? maaf? Sudahlah aku sudah gak butuh itu! pulanglah aku sudah capek!” bentakku, balik badan dan melangkah pergi.
“Tunggu sebentar, aku, aku tidak bermaksud menyakitimu, sebenarnya…” kata Aril.
aku mendengar suara kesakitan, dan aku menoleh kebelakang. Aril menahan rasa sakit di dadanya.
“Aril Aril kamu gapapa? Kenapa dengan dirimu, Aril!” kataku yang sangat khawatir.
Aril pingsan, aku tak tahu harus bagaimana. Jelasnya aku tidak kuat menggendong dia. Ada apa dengannya.
***
Warna yang serba putih ini aku sedang menunggu kabar baik. Aku mondar mandir kesana kemari, rasa gelisah, khawatir, takut menghantui pikiranku. Kemudian keluarlah seorang pria yang memakai baju dokter, sekitar umur 50 tahun keluar dari kamar.
“Bagaimana keadaannya Dokter?” kataku yang cepat-cepat ingin tahu keadaannya aku sudah begitu sangat khawatir tentangnya.
“Apa dia baru saja terkena bola?” kata dokter.
“Bola? Bola apa ya Dok?” tanyaku cemas.
“Sepertinya bolanya terlalu keras menghantam dadanya. Tapi, dia sudah baik-baik saja,” mendengar itu pun aku merasa lega.
“Terimakasih Dokter,” kataku.
Dokter pun pergi, aku masuk ke dalam kamar. Aku melihat dia masih tidur diatas tempat tidur.
Aku duduk, melihat wajahnya yang sudah pucat. Hanya cairan infus memasuki tubuhnya.
Ponselku berdering, Rika menelponku.
“Hallo."
“Kamu dimana?” tanya Rika, sepertinya dia khawatir denganku.
“Aku di rumah sakit,” kataku pelan.
“Kenapa! kenapa dirumah sakit!” suaranya seperti terkejut aku disini.
“Cepatlah kemari, aku gak bisa menjelaskan lewat telepon,” ponsel kumatikan.
Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Aril saat ini. Apalagi aku dan dia belum akur. Apa dia mengejarku? Apa mungkin ada maksud lain. Apa dia menjelaskan apa yang terjadi pada waktu itu. Tapi, sudahlah. Toh, jodoh sudah ada yang ngatur, Sekarang fokus pada kesehatan Aril.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kamu bisa seperti ini. Kamu membuatku merasa bersalah.
Ponselku berdering lagi kali ini bukan Rika.
“Hallo,” kataku pelan.
“Sayang kamu dimana? Gimana kalau kita hari ini bertemu," kata Dimas, sebenarnya aku tidak ingin berurusan denganmu. Mendengar suaramu sudah muak,
“Aku tidak bisa, aku ada janji, maaf,” kataku
“Janji apa? Setelah ada janji, kita bertemu ya?” kata Dimas, dia masih bersikeras mau bertemu denganku.
Kemudian mematikan handphone. “Kenapa kamu gak bangun, jangan buatku khawatir?” kataku.
Aku mendengar suara pintu dibuka dengan keras, dan aku langsung menoleh ke belakang.
“Kamu gapapa? Aril kenapa?” kata Rika, dia terkejut dengan Aril yang berbaring di atas kasur.
“Kita bicara di luar,” kataku.
Aku mengajaknya keluar, takut dia terbangun karena kebisingan suara Rika.
“Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.
“Seharusnya itu yang kutanyakan, apa kamu tahu dia kenapa? dadanya begitu sakit."
“Aku juga gak tahu… tunggu, aku dengar ada semacam kesengajaan tadi waktu lomba sepak bola,” kata Rika, membuatku langsung kaget.
“Siapa lawannya?” tanyaku penasaran hingga mengerutkan kedua alisku. Rika mencoba mengingatnya,
“Kelas 12 IPA” jawaban Rika membuatku terkejut.
“Dimas? Dia melakukannya?” kataku, aku begitu marah.
“Aku gak tahu, aku gak melihat, kamu tahukan tadi aku ada rapat PMR,” terang rika.
Aku tak melihat secara jelas. Saat itu, aku sedang berada di perpustakaan disibukkan dengan membaca buku.
Siapa yang melihat secara jelas kejadian tersebut. Tapi, untuk apa Dimas melakukan itu? Aku dan Rika masih dibuat bingung dengan teori ini. Pikiran yang bukan-bukan masuk ke otakku, seperti ada rasa menuduhnya. Seperti dia dalang dari semua ini. Tapi, aku gak boleh mengambil keputusan secara cepat. Aku harus mencari tahu siapa yang melakukannya.