"Rista, setelah lulus kamu harus masuk ke sekolah asrama. Di sana pendidikannya bagus, ayah dan bunda yakin kamu akan menjadi orang sukses kelak kalau kamu bersekolah di sana." Ucap ayah Rista.
"Baik, yah." Balas Rista.
"Rian, tiru kaka mu. Dia pintar dan penurut. Tidak sepertimu yang nakal dan selalu saja sulit mendapat prestasi di sekolah." Ucap ayah Rista lagi kepada Rian adik Rista seraya membandingkan kedua anaknya tersebut. Tanpa sang ayah sadari telah sangat melukai hati Rian kecil.
"Ingat, Rian! Kakak mu akan menghadapi ujian, jadi jangan ganggu dia. Biarkan kakakmu belajar dengan baik dan menjadi murid paling berprestasi di sekolahnya." Lanjut ayah Rista.
"Baik, yah." Jawab Rian dan setelah itu Rian pun langsuk masuk ke kamarnya.
"Merasa tak enak hati pada adiknya, Rista ingin segera menyusul Rian dan meminta maaf padanya karena Rista tau adiknya pasti akan sangat terluka oleh kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh sang ayah.
"Yah, bun, Rista ke kamar dulu ya." Pamit Rista pada orang tuanya.
"Iya, belajarlah yang rajin, nak. Ayah hanya mengandalkanmu." Ucap sang ayah sambil tersenyum pada Rista.
Sepeninggal Rista, kini sang bunda yang membuka suaranya.
"Yah, janganlah terlalu kasar pada Rian. Dia masih kecil. Dia belum benar-benar mengerti apa pentingnya prestasi. Dia masih dalam masa bermain, yah. Biarkan saja dia. Bunda yakin suatu saat, Rian dan Rista akan memiliki prestasi yang sama." Tutur Bunda Rista pada sang ayah.
"Begitulah jadinya jika kamu selalu memanjakan anak, bun. Biar aku yang mendidik anak-anak dengan caraku. Jangan selalu memanjakan Rian! Lihatlah hasilnya. Dia tidak memiliki prestasi apapun. Bahkan ikut lomba antar kelas saja, dia tidak bisa memenangkannya." Jawab sang ayah yang kemudian beranjak pergi meninggalkan bunda yang masih terdiam di sofa ruang keluarga.
*****
tok... tok... tok...