Aku mencoba merenggangkan badan, sesekali menguap lebar sambil memandang pintu yang tak kunjung terbuka. Sudah pukul tiga sore, tapi jika kuhitung, baru delapan pelanggan yang menyambangi cafe ini. Kalau dipikir-pikir, sudah hampir dua bulan aku pindah kosan dan bekerja di cafe milik mbak Bian, si embak tetangga kos yang kebaikannya membuatku terkagum-kagum. Berkat kebaikan hati mbak Bian aku mulai terbiasa dengan lingkungan kosan. Hanya saja, entah kenapa ada perasaan mengganjal setiap aku melihat kosanku. Bagaimana ya, memang tante Ella bilang rata-rata yang menyewa kamar di kosan itu adalah pekerja yang super sibuk, oleh sebab itu sulit bertemu atau berpapasan adalah sesuatu yang wajar. Tapi entah kenapa menurutku ada yang aneh.
Rasa penasaran muncul di diriku saat melihat para penghuni lantai dua di kosanku. Di antara seluruh penghuni kos tante Ella, hanya penghuni kos lantai dua lah yang tak pernah berbaur dengan penghuni kos lain. Selain itu masih banyak keanehan yang membuat jiwa detektifku meronta-ronta, meminta untuk dilepaskan!
Mulai dari pria-pria bertubuh tinggi besar yang tak sengaja kulihat memasuki salah satu kamar di lantai dua saat aku baru pulang sehabis ngelembur di perpustakaan. Suasana siang yang riuh di lantai dua dan mendadak sepi di saat malam. Seakan menegaskan bahwa aktifitas para penghuni kos di lantai dua baru dimulai saat malam tiba. Belum lagi tatapan-tatapan dingin dari penghuni lantai dua. Dan yang paling membuatku bertanya-tanya adalah suara rintihan seperti menahan sakit yang pernah ku dengar saat tak sengaja melewati lantai dua ketika ingin membuang sampah.
"Perasaan kamu aja kali!"
Hanya begitulah tanggapan mbak Bian ketika aku menanyakan pendapatnya tentang kemisteriusan penghuni lantai dua kosan ini.
"Mungkin mereka kerja di club atau tempat yang bukanya tengah malam kali!"
Mbak Bian terus menyangkal setiap fakta yang kubeberkan.
"Lalu, suara rintihan itu mbak?"
Tanyaku sengit yang langsung membuat rona merah menjalari pipi mbak Bian.
"Hush, anak kecil nggak boleh tahu!”
Ucapnya malu-malu yang sukses membuat wajahku ikut memerah begjtu menyadarimaksudnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mengacuhkan saja segala kecurigaan itu.
Aku menepuk-nepuk pipiku, menghentikan segala lamunan dan kembali fokus mengamati layar laptop. Inilah poin lainnya yang membuatku bahagia bisa menjadi karyawan mbak Bian, dia mengizinkanku mengerjakan skripsi ketika tak ada pelanggan yang harus dilayani. Duh pokoknya mbak Bian is the best lah! Tanganku mulai bergerak lincah, teringat lagi jadwal revisi yang sukses membuat kepalaku pusing tujuh keliling, ya walaupun tidurku masih nyenyak dan makan masih enak sih. Aku rasa itu menjadi kelebihan tersendiri untukku, se-stres apapun diriku, tak pernah berimbas pada pola tidur atau makanku.
"Zheyeng!"
Sebuah bisikan beserta hembusan nafas pelan ditelingaku langsung membuat aku terperanjat kaget.
Refleks tanganku langsung terangkat, memukul sesuatu yang ada di samping telingku.
"Buset, bar-bar banget!"
Suara eluhan langsung terdengar begitu tanganku mendarat mulus di pipi milik tersangka yang sudah berani-beraninya menghembuskan nafas di titik sensitifku. Aku hanya mengangkat bahu sambil memandang wajah kesal mas Raka, salah satu karyawan di kafe mbak Bian yang bertugas sebagai barista. Tangan mas Raka masih mengelus pipinya, gumaman kesal masih terdengar dari mulutnya.
"Kalau gue iseng nyium lo, bisa masuk rumah sakit gue karena babak belur kali ya."
Aku berpura-pura tak mendengar gumaman mas Raka dan memilih melanjutkan aktivitasku.
"Cha, ooo Cha!"