10.45
Aku memandangi jam dinding yang terletak tepat di dekat Laminar Air Flow, salah satu alat laboratorium yang seolah menjadi pacar untukku. Gimana nggak? Setiap hari aku harus nongkrong di alat yang digunakan untuk kegiatan penelitianku, bahkan di saat weekend sekalipun. Hampir saja air mata beserta ingusku meleleh mengingat penderitaan tiada akhir yang ku alami semenjak aku masuk kuliah dan mengambil jurusan Biologi. Awalnya sebelum memilih jurusan ini, aku tak pernah menyangka bahwa kuliah di jurusan Biologi akan seperti ini.
Jiwa masa SMA-ku yang sering dicekoki dengan sinetron perkuliahan yang sangat santai, membuatku berakhir terlalu halu. Aku pikir, saat kuliah aku bisa seperti para mahasiswa di sinetron-sinetron. Wajah cakep dengan make up tipis, baju modis dan jam belajar yang fleksibel, sekaligus bumbu-bumbu cinta lokasi yang sudah menari-nari di kepalaku.
Tapi ekspektasiku langsung hancur berkeping-keping, bahkan saat pertama kali semester pertama di mulai. Semester satu memang diisi praktikum laboratorium dasar seperti Biologi dasar, Kimia dasar dan Fisika dasar. Tapi disinilah awal khayalanku dikandaskan sekandas-kandasnya.
"Bufo dua per partner, Rana dua per partner, Haemodipsa dua per partner, Hirudo dua per partner, Mabouya dua per partner...."
Aku menganggukkan kepala dengan antusias begitu mendengar daftar hewan praktikum yang harus kami bawa. Asisten laboratorium yang bertugas mendampingi kami saat praktikum dengan nyaring mengumumkan bahan praktek dengan nama latin. Maklum saja, saat itu aku masih geblek soal Biologi, satu-satunya alasan aku memilih jurusan Biologi adalah karena dalam asumsiku, jurusan ini tak perlu berurusan dengan matematika. Walaupun pada kenyataannya semua hanyalah ilusi!
Wajahku langsung berubah masam saat aku mengetahui arti dari nama latin yang diumumkan oleh asisten lab. Kalian tahu apa? Mereka meminta kami untuk membawa kodok, katak, pacat, lintah, kadal dan beberapa hewan lain bahkan cacing! Bayangkan bagaimana hampir gilanya aku saat mengetahui arti semua spesimen yang harus di bawa.
"Kalau bisa cari sendiri ya dek, kampus kita luas. Pasti kalian bisa nemu semua bahan yang diminta di sini."
Aku menelan ludah saat membayangkan harus menangkap hewan-hewan tersebut dengan tanganku. Apalagi kodok! Ya ampun, bunuh aja adek bang!
Tapi justru berkuliah di Biologi membuat phobiaku pada hewan mulai membaik, bahkan sekarang aku sudah biasa saja saat melihat ular. Malah kalau ada ular melintas, yang ada dipikiranku justru seperti ini,
"Syukur lo munculnya sekarang kan lar, kalau nggak, udah berakhir di meja praktikum deh lo!”
Kuliah di Biologi juga mengajarkanku untuk teliti gaes. Gimana nggak? Pernah di salah satu judul praktikum, kami harus membawa sepuluh jenis kodok yang berbeda. Eh buset dah, bagiku semua kodok sama aja. Yang penting berlendir, gendut, kaki empat bisa lompat dan nggak pandai berenang seperti katak. Dan lagi-lagi kami diminta untuk mencari sendiri, agar bisa mengenal para kodok secara lebih dekat. Eakkk, berasa gebetan deh!
Dan perihal tiada matematika, ternyata aku salah besar gaes!. Sangat salah besar! Biologi punya matematikanya sendiri, yaitu pada bidang genetika. Matematika yang dikombinasikan dengan keahlian meramal. Misalnya begini, seorang pria buta warna akan menikah dengan seorang wanita carier (pembawa) buta warna, berapakah jumlah keturunannya yang normal? Kadang aku berpikir, nih orang mau nikah kenapa malah aku yang ribet? Lagian masih mau nikah loh ini. Bisa aja kan mantannya dateng atau pelakor muncul, gagal deh mereka nikah.