Aku menghernyitkan alis sembari memandang secara bergantian antara Cancan dan kulit ayam yang sudah memanggil-manggil untuk kulahap. Sedangkan Cancan sudah menghabiskan porsi ayamnya selagi aku kebingungan dengan pertanyaan dadakan yang dia lontarkan.
"Iya, aneh tau! Maaf cakap ya-"
Cancan mencondongkan tubuhnya ke arahku, setengah berbisik dia berkata,
"Kayaknya Mbak Bian itu suka sama lo deh.”
Kulit ayam yang saat ini hampir masuk ke dalam mulutku seketika kembali jatuh ke wadahnya. Aku menatap Cancan dengan ekspresi kaget.
"Oh? Suka sebagai adek kandung sih emang iya."
Jawabku setelah melogikakan maksud Cancan. Hampir saja aku jantungan karena sempat salah paham dengan pertanyaannya. Aku lalu meraih kembali kulit ayamku.
"Bukannnn.. Suka.. dalam artian cinta gitu."
Bantahnya.
Lagi-lagi kulit ayam merosot dari tanganku. Mataku membelalak, menatap Cancan yang dengan ekspresi serius dan masih melihatku lekat-lekat, meraih potongan ayam lain.
"Heleh, kebiasaan ya lo Can. Yang iya lo sengaja ngomong gini kan? Biar lo makan ayam jadi 3, gue cuma kebagian remahan doang gara-gara fokus mikiri pertanyaan abstrak lo!"
Gerutuku kesal saat memikirkan kemungkinan Cancan yang sedang menjahiliku.
Cancan langsung menggeleng dengan ekspresi tak terima sekaligus terpukul, seolah aku baru saja memfitnah dia. Tapi apa gunanya? Dengan ayam kedua yang tinggal tulang di tangannya, bagaimana mungkin dia mengelak tuduhanku?.
"Astaga, se-enggak ada akhlaknya gue, nggak mungkin lah gue embat semua ayam ini-“
Dia lalu memasang ekspresi nyengir kuda
"Kecuali elo ijinin."
Ucapnya berpura-pura polos, membuatku mengerlingkan bola mata sebal.
"Tapi gue serius Cha, lo nggak ngerasa kejanggalan mbak Bian gitu?"
Aku menggelengkan kepala, kali ini fokus memakan ayam dan tak terlalu memikirkan ucapan Cancan.
"Nggak tuh."
Cancan membelalakkan matanya lebar-lebar. Saking lebarnya sampai aku takut bola mata Cancan lepas.
"What? Lo nggak sadar? Eh buset dah!”
Teriaknya histeris.
Dia lalu mencengkram bahuku dengan tangannya yang masih dipenuhi minyak dan sambal ayam.
"Mulai dari merhatii pola makan lo, ngantar jemput lo. Bahkan mbak Bian pernah kan nyusulin lo ke kampus malam-malam cuma buat ngantarin selimut tebal karena takut lo kedinginan? Kakak kandung gue aja nggak pernah gitu lho!"
"Hey manusia geblek hingga tingkat RNA, sadarlah!"
Ucap Cancan sambil mengguncang-guncang tubuhku.
Aku langsung menyingkirkan tangan Cancan, dengan sebal memandang pakaianku yang terkena imbas noda sambal dan minyak ayam.