Mbak Bian memandang lurus ke arah jalanan di depan, fokus menyetir mobil Pajero Sport putih kesayangannya. Sejauh ini, sudah ada 2 mobil yang pernah mbak Bian gunakan untuk menjemputku. Yang pertama adalah mobil Jeep Wrangler Rubicon yang sering membuatku melongo ketika mengetahui harganya, sekalipun aku menjual ginjalku tetap saja tak akan mampu membeli mobil itu. Dan yang kedua adalah Pajero Sport putih ini.
Untuk mobil Jeep, mbak Bian sangat jarang memakainya karena sangat mencolok dan membuat mbak Bian menjadi pusat perhatian. Percayalah saat aku pertama kali melihat mbak Bian menunjukkan mobil Jeepnya kepadaku, aku langsung teringat dengan mobil-mobil penculik di sinetron dan film petualangan Sherina yang sangat kusukai.
Kadang aku heran melihat mbak Bian. Dari begitu banyaknya mobil dengan desain yang bisa dimodifikasi menjadi lebih girly, mbak Bian justru memilih mengendarai mobil yang membuatnya terkesan 'macho'. Tapi, aku rasa itu wajar sih, mengingat mbak Bian yang sedikit tomboy.
Sepanjang perjalanan pikiranku terus mengulang-ulang perkataan Cancan, terutama tentang bagian mbak Bian yang menciumku diam-diam. Refleks aku melihat figur mbak Bian dari arah samping. Dari berbagai arah, mbak Bian tetap terlihat cantik paripurna, bahkan seandainya mbak Bian mendaftar menjadi miss Indonesia bahkan miss Universe sekalipun, mbak Bian pasti menjadi juaranya.
Rasanya sulit mempercayai tuduhan Cancan kepada mbak Bian, apalagi aku pernah beberapa kali memergoki seorang pria keluar-masuk kamar mbak Bian. Pria yang awalnya ku kira sebagai suami mbak Bian. Aku bahkan beberapa kali mendengar suara ribut diiringi desahan dari kamar mbak Bian di tengah malam, membuatku menyimpulkan bahwa mereka sedang melakukan aktivitas yang langsung membuat wajahku memerah bak kepiting rebus.
Bukankah semua hal itu sudah cukup untuk menegaskan bahwa mbak Bian straight? Mungkin saja alasan mbak Bian menciumku memang karena rasa gemas kan? Aku menepuk-nepuk pipiku, merasa kesal dengan pikiranku yang terbagi dalam dua kubu. Satu kubu menentang segala tuduhan Cancan, dan satu kubu lagi menyetujui tuduhan Cancan.
"Ya ampun!"
Tangan mbak Bian terulur, menyentuh pipi kananku yang baru saja kutepuk. Mbak Bian mengelus pipiku pelan, dahinya berkerut, sepertinya merasa heran dengan tindakanku barusan.
"Kok lo nabok pipi sendiri? Nggak sakit kah?"
Tanyanya dengan pandangan masih fokus ke depan.
Refleks aku menjauhkan tubuhku, menghindari elusan tangan mbak Bian di pipiku.
"Oh itu-”
“Ada nyamuk tadi mbak!"
Jawabku asal.
Mbak Bian terlihat kaget dengan diriku yang menghindari elusan tangannya. Dia kembali meletakkan tangannya di stir mobil, ekspresi kecewa terbentuk di wajah cantiknya. Duh, gusti. Sebenarnya aku tak tega melihat mbak Bian seperti ini. Tapi tuduhan Cancan mirip seperti kenangan mantan di otakku, sulit dan sangat susah di hapus!
"Gue ada salah sama lo?"
Suara sedih mbak Bian membuatku langsung menggelengkan kepala dengan panik.
"Nggak kok mbak!"
Aku mengibaskan tanganku cepat.
Lampu merah yang menyala di persimpangan membuat mbak Bian mengalihkan tatapannya kepadaku.
"Jadi? lo kok aneh gini?"