Aku mengeluarkan karbondioksida yang tadi sempat tertahan di paru-paru karena terlalu takut kepada Johan yang sibuk memeriksa ponselkuku. Tiba-tiba aku tersadar akan sebuah fakta yang tak terpikirkan olehku karena aura mengerikan Johan.
Tak ada video terbaru yang dia temukan! Padahal aku yakin seratus persen bahwa aku sempat merekam tindakan Johan kepada mbak Nina dan menyimpannya ke galeriku. Tapi, bagaimana mungkin Johan tak menemukan apapun? Apa jangan-jangan ponselku sudah mulai error ya?.
"Dek Ichanya mas Raka kok disini sih?"
Wajah menyebalkan mas Raka tiba-tiba muncul di depanku, membuat semua rasa bingung akibat misteri video yang hilang langsung buyar.
Aku memandang wajah mas Raka yang kini dihiasi dengan cap tangan di berbagai sisi. Sepertinya dia baru saja dianiaya oleh mas Jems dan mbak Bian yang aku tak tahu apa alasannya. Memang sih wajah polos mas Raka ngeselin, lebih mirip wajah om-om mesum yang berpura-pura lugu.
"Jangan diliatin gitu dong masnya dek, mas jadi susah bernafas nih. Tenggelam di dalam lautan matamu, eaaakk!"
Gombal mas Raka sambil menaik turunkan alisnya. Dan dalam hitungan detik kemudian, mas Raka sudah menghilang dari hadapanku. Tentu saja karena Mbak Bian yang menyeratnya pergi menuju dapur. Hanya suara rintihan memohon ampun dan bunyi pukulan saja yang terdengar di telingaku.
Melihat tingkah mas Jems yang sama sekali tak merasa canggung saat menghajar mas Raka membuatku menyimpulkan bahwa mas Jems juga mengenal mas Raka. Tapi wajar sih, sebagai sahabat dari lahir mbak Bian, mas Raka pasti juga mengenal mas Jems.
Tiba-tiba sebuah pemikiran gila terlintas di benakku. Jangan-jangan mas Raka datang kesini untuk menggagalkan mas Jems melakukan sesuatu ke mbak Bian? Mengingat saat ini sudah tengah malam dan alasan membawa putu bambu sedikit tidak masuk akal. Aku jangan-jangan, kalau seandainya tidak terjadi insiden Johan, mungkin saat ini mas Jems dan mbak Bian sedang.......
Aku mengipas-ngipas wajahku yang terasa panas. Buset dah, sejak kapan aku punya pikiran mesum seperti ini? Padahal sepanjang pelajaran reproduksi dari jaman SMP hingga kuliah, tak pernah sekalipun aku merasa malu seperti ini.
Menyadari wajahku yang mulai memerah, mbak Bian segera menghentikan amukannya ke mas Raka dan mulai berjalan mendekatiku.
"Lo nggak apa kan Cha?"
Mbak Bian memandangku dengan tatapan cemas. Wajah cantiknya membuatku sedikit terpana. Sekarang aku semakin kagum dengan mbak Bian. Bukan cuma cantik, mbak Bian ternyata seseorang yang pemberani, bahkan dia tak ragu untuk menantang Johan. Oh dunia, betapa tak adilnya dikau. Udah cantik, pintar, sukses, pemberani, tolong dong berikan kelebihan mbak Bian sedikit saja ke diriku yang hanya remahan rengginang ini!
"Cha?"
Mbak Bian kembali memanggilku, ekspresi khawatir semakin menjadi-jadi di wajahnya.
Dengan cepat aku menggelengkan kepala
"Aku baik-baik aja kok mbak!"