My Suspicious Neighbour

Serenade18
Chapter #11

Permintaan Kunjungan

 "Pagi Icha!"


Wajah segar mbak Bian langsung muncul ketika aku membuka pintu kamarku. Hari ini mbak Bian mengenakan stelan jeans dan baju kaos berwarna biru muda, semakin membuat wajahnya terlihat cerah.

"Pagi mbak." Jawabku pelan.


 


Berbanding terbalik dengan mbak Bian yang penuh semangat, aku justru sangat lelah. Bahkan aku yakin kantung hitam menggantung di mataku sekarang, persis seperti Panda.

"Pagi Icha!

"Pagi sayangnya mas!"

Dari balik punggung mbak Bian, muncul mas Jems dan mas Raka yang masih memasang ekspresi ngantuk.

Tentu saja mereka ngantuk, bahkan aku juga! Bayangkan saja kami kemarin bermain uno sampai pukul 3 dengan coretan lipstick dan duduk jongkok sebagai hukumannya. Diantara kami semua hanya mbak Bian-lah yang terlihat segar dan glowing, seakan dia punya tidur yang cukup semalam.

Wajah mas Jems dan mas Raka sebenarnya lebih ngenes lagi daripada wajahku. Bekas-bekas merah masih tersisa di wajah mereka. Benar-benar kombinasi abstrak antara sisa merah lipstick dan kantung mata, membuatku hampir tertawa terkekeh begitu melihat wajah mereka.

Percayalah jika mbak Bian mengaku sebagai raja judi kartu maka aku pasti akan langsung percaya. Setelah melihat kemampuan mbak Bian, aku hanya bisa memandangnya dengan kagum. Mulai dari kartu remi hingga sekelas uno sekalipun, mbak Bian benar-benar tak terkalahkan! Dan yang lebih anehnya lagi, aku yang tak punya kemampuan dan keberuntungan apapun malah ikutan tak terkalahkan seperti mbak Bian. Bahkan biasanya main gunting batu kertas aja aku selalu kalah. Akhirnya mas Jems dan mas Raka-lah yang bergantian kalah. Dan saat itu pula aku baru menyadari bahwa mbak Bian bisa lebih kejam daripada ibu kota. Tak ada ampun kepada dua orang yang tak lain dan tak bukan adalah kekasih dan sahabatnya.

Setelah kepergian si botak Johan, sebenarnya aku sudah siap-siap untuk kembali ke kamar. Tapi mereka bertiga kompak melarang dengan wajah serius. Dan tanpa bisa kucegah, mereka sudah menyeret tubuhku untuk duduk di lantai kamar mbak Bian yang sudah dialasi bantal tebal terlebih dahulu. Sedangkan mas Jems dan mas Raka harus duduk di atas dinginnya lantai tanpa alas apapun.

Lagi-lagi aku menguap lebar, tak lagi repot-repot menutup mulut.

Mbak Bian-lah yang berinisiatif mengulurkan tangannya, menutup mulutku yang saking lebarnya, seekor ayam panggang utuh bisa masuk ke dalam mulutku. Duh, laparnya.


"Ready to go?"


Tanya mbak Bian semangat. Tangannya mulai berpindah merapikan anak rambutku yang berantakan.

Aku hanya mengacungkan jempol dan menganggukkan kepala. Seperti biasa, mbak Bian akan mengantarku ke kampus dan menjemputku begitu kegiatanku selesai. Mbak Bian mulai berjalan sambil bersiul riang. Aku hanya mengikuti mbak Bian dari belakang. Tiba-tiba langkah mbak Bian terhenti, membuat hidungku langsung menabrak punggungnya.

Wajah mbak Bian seketika berubah cemas


Lihat selengkapnya