"Kalian mau ngapain?"
Tanya mbak Bian ketus saat mas Jems dan mas Raka sudah stand by di samping mobil mbak Bian.
"Mau nebenglah, gue kan bareng lo kesini semalam. Jadi gue nggak bawa kendaraan." Jawab mas Jems.
Mas Raka juga mengangguk.
"Gue juga kesini nggak bawa kendaraan."
"Ogah! Jalan kaki aja sono, lebih sehat!"
Mbak Bian mengangkat bahu cuek, membuka pintu mobil dan membantingnya dengan kuat.
Mas Jems dan mas Raka hanya menghela nafas berat, seakan sudah menebak bahwa hal ini akan terjadi. Padahal tadi mood mbak Bian sangat baik, bahkan di antara kami semua mbak Bian-lah yang paling terlihat segar dan sumringah. Kenapa pula tiba-tiba mood mbak Bian berubah jadi jelek begini?.
Klakson mobil mbak Bian terdengar tiba-tiba, membuat kami bertiga terlonjak kaget.
"Naik, Cha!"
Perintah mbak Bian. Wajah galaknya menyembul dari kaca yang di turunkan.
Dengan cepat aku naik ke mobil mbak Bian, takut kalau mood mbak Bian bertambah buruk. Ini baru kali pertama aku melihat mbak Bian segalak ini dalam sepanjang sejarahku mengenal mbak Bian. Dari dalam mobil aku bisa melihat mas Jems dan mas Raka yang mulai berjalan gontai meninggalkan halaman kos. Kalau saja mood mbak Bian tidak sedang buruk seperti ini, sudah pasti aku akan membujuk mbak Bian untuk memberi tumpangan kepada mas Jems dan mas Raka.
"M..mbak." Panggilku takut-takut.
"Hmm?"
"Mas Jems nggak apa dibiarin pergi sendiri begitu?"
Kalau mbak Bian berlaku semena-mena dengan mas Raka sih aku sudah paham. Toh mas Raka dan mbak Bian ibarat cabe dan cokelat, susah di satuin. Tapi, dengan mas Jems yang merupakan kekasihnya? Bukankah mbak Bian terlalu gegabah?. Bisa-bisa mereka malah bertengkar dan putus.
Mbak Bian tak menggubris pertanyaanku, alisnya menghernyit saat memandang ke arah panel penanda safety belt yang terus menyala. Tanpa aba-aba, mbak Bian mencondongkan tubuhnya ke arahku. Begitu dekat sampai aku bisa mencium aroma citrus yang terpancar dari tubuh mbak Bian. Aroma parfum ini adalah salah satu dari banyaknya keanehan mbak Bian. Aroma parfum yang terkesan sangat manly, membuat siapa saja menyadari bahwa aroma ini adalah aroma seorang pria.
Setiap kutanya, mbak Bian hanya mengangkat bahu.
"Gue suka aromanya, jadi ya gue pake aja." Ucapnya cuek.
Tubuhku hanya bisa kaku saat mbak Bian belum juga selesai memperbaiki safety belt milikku. Usapan nafas hangatnya menyapu leherku, membuat sengatan aneh menjalar di tubuhku.
"Rileks aja Cha. Gue jadi susah nih masukinnya."