"Cha... Oh Icha.. Kembarannya Raisa, adeknya Nia Ramadhani."
Suara mendayu Cancan memasuki gendang telingaku yang masih fokus mengamati spesimen dari mikroskop. Dengan kesal aku menggeser bangku, menjauhi Cancan dan kembali fokus dengan spesimen yang kuamati. Harusnya aku hari ini mengamati bagaimana bentuk bakteri penelitianku. Tapi pikiranku yang kacau sukses membuat penampakan bakteri berubah menjadi wujud Cancan dan mbak Bian dalam versi mini.
Cancan tak menghentikan aksinya, dia mulai menoel-noel lenganku sambil berkata penuh drama
"Lo kenapa sih Cha? Gue mana ngerti kalau elo nggak cerita langsung. Gue nggak tahu salah gue dimana sampe lo bersikap kayak gini.”
Suara tanpa dosa Cancan langsung membuatku menghentikan pengamatanku.
"Apa lo bilang? lo nggak tahu? Lo biasanya orang utang seratus perak aja ingat. Masak salah lo yang kemarin lo lakuin aja bisa lupa?" Teriakku lebay dengan mata di belalakkan.
"Yah kalau hutang wajarlah gue ingat. Lo lupa hutang satu perakpun bisa ngehalangi lo masuk surga. Sebagai sahabat yang baik gue gamau dong lo gagal masuk surga, makanya gue ingatin. Tapi soal kemarin gue betul-betul nggak ingat Cha, suer disambar Iqbal Ramadhan deh!"
Ucap Cancan sambil mengacungkan tanda v dengan jarinya.
Aku mengerlingkan bola mata sebal, menghela nafas berat dan mulai mengamati kembali bakteri belahan jiwaku. Sebenarnya aku terlalu bingung untuk menjelaskan kepada Cancan apa alasan kemarahanku. Kalau aku bilang aku marah karena dia mengatakan sesuatu yang tak masuk akal kemarin, bukankah aku bakalan terlihat aneh? Memasukkan ke dalam hati ocehan abstrak Cancan sama saja menandakan bahwa aku terganggu dan percaya dengan ucapan Cancan. Seharusnya kalau aku tidak percaya, aku nggak bakalan menunjukkan sikap sekalut ini.
"Cha.."
Panggil Cancan lagi dengan suara melas.
"Cha.."
"Oh Cha.."
"Caci aku, maki aku, sakiti aku tapi jangan diam. Jangan diam, syalala"
Dia mulai menyenandungkan lagi dari band Tipe-X dengan suaranya yang false.
Akhirnya pertahananku roboh juga. Kupingku terlalu berharga untuk mendengar suara Cancan yang siap menyenandungkan lanjutan lagu. Aku mengangkat tanganku, mengarahkan telapak tangan ke wajah Cancan, memberikan gesture ‘stop’ agar dia tak melanjutkan nyanyiannya yang merusak alam sadar dan bawah sadarku.
"Udah, gue nggak marah kok."
Jawabku tanpa melihat Cancan.
"Eleh, bohong! Kalau nggak marah yang tadi apa dong? Drama aksi musikal?"
Aku memandang ke arah Cancan dengan alis berkerut
"Gue nggak marah sumpah. Hmm.. Marah sih, tapi ya gara-gara gue kesal lo makan ayam gue sampe tiga potong begitu"
Jawabku mengarang bebas.