Jangan-jangan...
Mas Jems adalah dalang dibalik hilangnya bayi-bayi koinku?.
Wah, tidak bisa dibiarkan ini. Berani-beraninya mas Jems mengambil para bayi koin yang sudah kurawat seperti anak sendiri, buset, berasa kayak iklan kecap.
Tapi aku serius lho, uang koin itu sangat berharga untukku. Sebagai anak kos, bayi koinku adalah penyelamat disaat stok mie instan menipis di akhir bulan.
Dengan cepat aku berdiri, ingin bergegas mengejar mas Jems sambil memikirkan kata-kata ngegas apa yang bisa kuucapkan.
Tapi, belum lagi kakiku melangkah, mbak Bian dan mas Raka langsung menarikku, membuat tubuhku seketika terduduk di atas ambal bulu. Untung saja bukan di atas lantai langsung, kalau nggak bisa bertambah datar atuh bokongku, eh, bisa sakit maksudnya.
“Apaan sih mbak?”
Tanyaku kesal ke arah mbak Bian.
Kalau mas Raka yang menarik paksa begini aku sudah maklum. Tapi kalau mbak Bian mah lain cerita. Apalagi saat ini kulihat wajah mbak Bian super duper panik.
Apa jangan-jangan mbak Bian.
“Ah….”
Gumamku sambil menganggukkan kepala berkali-kali. Mendadak rasa seakan telah dikhianati habis-habisan membanjiri diriku.
“Aku nggak nyangka ternyata mbak tega ngebohongi aku. Padahal aku udah percaya satu juta persen dengan mbak selama ini. Nggak nyangka aku, ternyata mbak tega nyembunyikan semuanya dari aku.”
Lanjutku panjang lebar dengan ekspresi sedih.
Aku memandangi wajah mbak Bian yang mendadak memucat. Alamak oi, sepertinya benar dugaanku, mbak Bian sudah mengkhianati kepercayaanku.
“Maksud kamu, Cha?”
Tanya mbak Bian dengan suara bergetar.
“Alah mbak gausah kura-kura di dalam perahu, deh.”
“Cakep.”
Aku langsung melemparkan tatapan galak ke arah mas Raka yang langsung menyambar kalimatku. Dasar, aku lagi serius marah nih, dikata lagi mantun apa.
“Seriusan, mbak nggak paham, Cha.”
Elak mbak Bian lagi.
Kali ini keringat dingin mengucur di pelipisnya, membuatku semakin curiga dengan gerak-gerik mbak Bian yang mirip maling ketangkap massa.
“Gausah sok bertanya padahal udah tau, itu noh artinya mbak.”
“Mbak sebenarnya udah bohongin aku kan?”
Aku berdecak kesal saat mbak Bian dengan cepat menggelengkan kepalanya, membantah semua tuduhanku.
“Mbak beneran nggak ngerti maksud kamu, Cha.”
“Haha, gak usah bohong deh mbak. Aku tau, mbak kan yang sengaja ngehilangin….”
“Ngehilangin?”
Ucapanku terhenti begitu mendengar mas Raka dan mbak Bian berteriak secara bersamaan.
Alamak, tumben amat nih mail sama meymey kompak. Biasanya gelud mulu.