LOKASI yang berada di bagian depan kampus setelah boulevard itu sudah dipenuhi mahasiswa-mahasiswi yang hampir semuanya jurusan Kriya. Ya, kampus seni yang dikenal dengan nama Institut Seni Indonesia ini memiliki tiga fakultas besar yakni Seni Rupa, Seni Pertunjukan dan Seni Media Rekam.
Kabarnya, ISI yang terletak di kawasan Yogyakarta ini dikenal dengan Fakultas Seni Rupa terbaik. Alina membanggakan hal ini meski sebenarnya ia tak pernah berniat ke sana. Namun, mengakui Seni Rupa lebih unggul pasti mengundang debat dengan dua sahabatnya, Hendra dan Anggara yang berada di Fotografi, Fakultas Media Rekam.
Alina mendesak di antara kerumunan mahasiswa. Mengetahui Alina masuk ke ruangan, sorak sorai menyapa Alina.
“Cieee, uhui.” Satu.
“Ini nih, yang mau tunangan.” Dua.
“Wah, kriya mau punya keponakan baru nih aroma-aromanya.” Tig..
“Alina.”
Alina mendesak lagi barisan pertama. Berhadapanlah ia dengan wanita usia empat puluhan rasa dua puluhan, you know how? Meski usianya terbilang hampir tua, namun penampilannya tidak demikian. Rambut lurus buatan, alis disulam rapi dan bibir tebal berlipstik merah.
Alina membuang napas kesal. “Bunda ngapain ke sini?”
“Kamu gimana sih, Nduk? Pertunanganmu kan tinggal besok. Kok undangan untuk teman-temanmu masih kamu simpan di laci?”
Hening. Sementara antero mahasiswa dan mahasiswi jurusan Kriya Seni ini saling kasak-kusuk.
"Alina, you dengar Bunda?”
Alina mendengus. “Bunda, Alina belum siap. Lagian Alin nggak tahu tunangan Alin siapa. Alin nggak kenal cowok itu, terakhir, dia bukan pilihan Alin!”
Sarah—ibunda Alina meredup, bibirnya memiring ke atas. “Kamu terlalu pede deh, Nduk. Memang siapa yang mau milih kamu, hah?” cibirnya. Sumpah, kalo ente bukan bunda aye, udah kujambak ini orang. Batin Alina.
Orang-orang di sekililing mereka menahan tawa yang hampir pecah. Bukan tidak enak dengan Sarah, semua juga tahu kalau Sarah jarang atau tidak pernah terdengar memuji putrinya yang punya kebiasaan butut: Jarang mandi. Memang bukan hal asing bagi mahasiswa seni, khususnya seni rupa. Kumal, gimbal, dan lain-lain. Namun entah, Alina lebih sering jadi bahan buli-bulian. Mungkin memang tingkat joroknya yang sudah di atas rata-rata. No water in a week? Alina nggak takut!
Cuma satu yang mereka takuti jika menertawakan Alina di situ. Gadis itu, kurus namun kuat. Kepalannya yang sebenarnya mirip tulang belulang nyatanya memiliki kekuatan titisan Jackie Can. Memang bukan wanita premanis yang menggunakan tangan semena-mena, namun tetap, yang kuat yang disegani.
“Bunda bisa nggak sih, nggak keras-keras bilang gitu?” bisik Alina.
Sarah memalingkan wajah sok cuek lalu membagi-bagikan kertas merah jambu yang tak lain adalah undangan pertunangan Alina. Putrinya yang sudah melemas hanya pasrah menyaksikan bundanya sibuk menyebar selebaran sayembara terkutuk itu, sesekali berkerling pada mahasiswa yang dirasa cling.