Naina menutup kotak makan miliknya. Mark, Mina, Nana dan Jina sudah pulang lebih awal. Hanya tinggal Jeno dan Naina yang masih belum pulang. Naina bilang, dia ingin menunggu senja. Sudah lama dia tidak berjumpa dan memotret keindahan senja.
"Na." Panggil Jeno. Gadis yang tengah membereskan tas miliknya itu terinterupsi dan menatap Jeno. "Mau aku anter pulang? Ya meskipun jalan kaki." Tanya Jeno.
Naina terkekeh pelan. "Apa sih, Jen. Biasanya juga kamu nganterin aku sampe depan rumah. Kenapa hari ini tiba-tiba minta izin?"
Jeno menggaruk pelipisnya, ia tidak tau harus berkata apa. Yang jelas, dua hari yang lalu Jeno mendapati Naina pergi bersama dengan seorang laki-laki dari kelas sebelah. Jeno pikir itu kekasih Naina atau orang yang sedang mendekatinya. Makanya Jeno meminta izin untuk berjaga-jaga. Meskipun ia tidak tau pastinya seperti apa.
"Gak usah mikir yang macem-macem deh. Aku gak punya pacar. Julian itu cuman temen aku. Kami sama-sama menggeluti hobi di bidang potret memotret." Ucap Naina tiba-tiba.
"Kok, kamu bisa tau?" Tanya Jeno. Sekarang Jeno curiga kalau Naina itu seorang cenayang.
"Kamu curhat sama Mark kan? Terus Mark bilang sama Mina dan Mina bilang sama aku." Balas Naina.
Sial. Jeno ingin menenggelamkan Mark saat ini juga. Mark tau kalau dirinya memiliki perasaan lebih pada Naina. Dan sialnya laki-laki itu malah membicarakanya pada Mina dan membuat Naina mengetahuinya.
"Lebih baik kamu berhenti menceritakan keluh kesahmu pada orang lain. Ceritalah pada tuhan, dia tidak akan membocorkannya." Ucap Naina diakhiri seulas senyuman.
Jeno jadi malu dengan apa yang dia lakukan. "Maaf, aku hanya tidak enak kalau ahrus bertanya padamu secara langsung. Ayo pulang." Ajak Jeno. Naina mengiyakan dan ia mulai berdiri, membersihkan rok sekolahnya dari debu kemudian berjalan mengekori Jeno.
"Na." Panggil Jeno lagi.
"Nana sama Jina cocok yah kalau mereka pacaran." Ucap Jeno, membuat kening Naina mengerut.
"Apasih? Jen, kamu tuh kenapa selalu nanya hal-hal yang mustahil sih? Kan kita udah janji kalau kita gak boleh ada yang pacaran satu sama lain." Balas Naina.
Iya, Jeno tau. Tapi bolehkan Jeno menghapus aturan itu? Aturan yang ia dan sahabatnya buat saat pertama dekat dan menjadi sahabat?
***
Jina memperhatikan Nana yang tengah sibuk menulis sesuatu di atas bukunya. Mungkin catatan pelajaran atau sejenisnya. Jina masih terus memperhatikan laki-laki itu sampai akhirnya Nana menoleh pada Jina. Gadis itu tertegun, tidak tau kalau Nana akan menoleh dan menatapnya. Nana tersenyum tipis kemudian mengacak rambut Jina.
"Kenapa sih?" tanya Nana sambil membereskan alat tulisnya.
Jina menghela nafas. "Jina bosen. Main yuk." Ajak Jina.
Nana berfikir sejenak, sampai akhirnya laki-laki itu mengiyakan ajakan Jina. Jina nampaknya bosan seharian libur di rumah Nana. Jina memang selalu menghabiskan waktunya di rumah Nana, dan Nana tidak keberatan. Apalagi Bundanya Nana, Nana anak laki-laki satu-satunya dan Jina anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Bunda Nana sangat menginginkan anak perempuan. Tapi begitu Nana lahir, Bunda Nana hanya bisa menghela nafas pasrah. Tapi Bunda Nana masih tetap bersyukur karena sudah di karuniai anak setampan Nana.
"Jina pakai jaketnya!" Titah Nana saat melihat Jina yang tengah mengenakan sandal tanpa menggunakan jaket.
Diluar sedang hujan gerimis maka Nana dan Jina harus mengenakan jaket dan payung. Nana memberikan jaket pada gadis itu. Jina hanya tersenyum nyengir saat Nana memberikan jaket itu dengan tatapan datar.