Satria membuang rokok yang baru dihisap separonya ke tanah, lalu menginjaknya kuat-kuat. Serpihan tembakau yang remuk redam pun terserak di bawah sepatu adidasnya. Rasa malas mendera, harus menjalani nasib sebagai orang yang terasing di kampung seperti ini.
Kenapa tak ada satu pun tempat tongkrongan gaul yang menarik? Tidak seperti di kota Bandung. Di sana, jam sepuluh malam adalah waktunya pesta, bersenang-senang bersama teman-teman, bukannya menarik selimut sambil mendengarkan nyanyian jangkrik.
Di pinggiran perkebunan teh, dekat danau Patengan, Satria mendongak ke atas. Dia membiarkan wajahnya disinari silau matahari pagi.
"Bisa-bisa gue mati pelan-pelan di sini!" ratapnya.
Angin pagi yang dinginnya menusuk, terutama bagi pendatang baru seperti Satria, berembus lirih. Dingin itu memagut, membuat Satria bergidik. Jaket Army yang dia kenakan menutupi seragam putih yang dibiarkan bebas lepas, tidak dimasukkan ke dalam celana putih abu-abu.
Satria tahu dia tidak seharusnya berlama-lama ngejogrok di atas 'Si Jalu', Kawasaki merah kebanggaannya. Lima belas menit lagi dia akan kesiangan, tapi entahlah... rasanya malas.
Ketika itulah Satria bertemu Zarra.
Gadis bermata bulat sipit itu sedang berlari terbirit-birit. Larinya terlihat lucu, seperti wajahnya yang juga imut dan mempesona. Zarra tampak kesulitan dengan rok panjangnya. Berkali-kali dia menarik roknya ke atas agar tidak menghambat pergerakan kakinya. Namun, ketika dia melihat cowok asing sedang nongkrong di atas motor, dia buru-buru menurunkan roknya lagi, tak ingin auratnya tersingkap dan dilihat orang lain. Kerudung putihnya berkibar di udara.
Zarra kesiangan. Dia baru menyadari mamanya tidak ada, saat melihat mobil CRV lenyap dari pelataran. Terpaksa dia harus berjalan kaki ke sekolah.
Perhatian Satria terusik saat melihat cewek yang gradak-gruduk melewatinya. Sekilas dia melihat wajah Zarra, dan hatinya mencelos. Dia kaget luar biasa.
"Itu...!" Satria terperanjat. Ingatannya melayang pada bayangan gadis berambut shaggy sebahu, pemilik wajah yang sangat indah baginya. Oriental dan cantik.
"Cika?" gumam cowok jangkung dan berkulit hitam manis itu lirih.
Menapaki jalan raya yang kecil, Zarra semakin berlari menjauh, sementara Satria masih termangu-mangu di tempat. Unbelievable. Tadi itu keajaiban apa?
"Ancika..." Satria berbisik sepenuh rasa. Suaranya menyimpan getir kerinduan yang seolah berton-ton beratnya.
Sosok Zarra semakin mengecil, hampir menghilang di tikungan. Melihat itu, Satria tersadar dari lamunan. Tangannya bergerak memutar kunci kontak, lalu diraungkannya Si Jalu yang derumnya menggelegar. Dia memacu motornya untuk menyusul Zarra.
Spontan, Zarra menepi ke pinggir jalan mendengar gerungan motor yang mendekat. Dia mengira motor itu akan melewatinya begitu saja. Namun, motor itu malah menjejeri langkahnya. Terdorong rasa penasaran, Zarra menoleh ke arah si pengendara. Dilihatnya, cowok itu sedikit terperangah menatapnya.
Zarra menghentikan langkah. Menatap cowok asing di dekatnya penuh tanda tanya. Dia menduga cowok itu tersesat dan ingin bertanya jalan. Asal jangan rute yang terlalu jauh, dijamin dia tidak akan tahu. Kalau seputaran wilayah dekat rumah atau sekolah, insya Allah.
Hati Satria mengharu biru. Beneran mirip si Cika! Cewek ini kayaknya salah satu dari tujuh kembaran Ancika yang tersebar di dunia.
"Hai," sapa Satria kemudian. Tersenyum pada Zarra.
"Aku mau tanya, SMA Harapan itu dimana?" tanya Satria. Dia yakin cewek ini pasti satu almamater dengannya. Mana lagi ada sekolah tingkat menengah atas di sekitar sini, coba? Nggak ada. Untung dia sudah tahu medan duluan hasil investigasinya beberapa hari kemarin.
"Oh, di ujung jalan ini. Lurus aja terus, nggak usah belok-belok," Zarra mengarahkan telunjuknya lurus-lurus ke jalan di hadapannya, bikin Satria menahan tawa.
Edan, lucu banget nih cewek. Emang ada belokan lagi gitu? Kan nggak ada. Jalan ini cuma satu arah.
"Kalau kamu sekolah di mana?" tanya Satria lagi.
"Di SMA Harapan juga," balas Zarra ragu-ragu.
"Barengan, yuk. Aku takut nyasar eung. Ini hari pertama aku sekolah di sana soalnya. Aku takut banget ntar kena jewer guru," Satria pura-pura ngeri.
Zarra memandangi penampilan nyeleneh cowok itu. Masa dia cowok tampilan tengil gini takut sama guru? Orang baju seragam aja kagak dimasukin. Keliatan nggak rapi.
Satria ngeh apa yang dipandangi Zarra. Cepat-cepat dimasukkannya baju seragamnya yang nongol ke saku celana. Dirapikan sebisanya.
"Aku tadi bangun kesiangan. Jadi, nggak sempet rapi-rapi," jelas Satria tanpa menunggu Zarra mempertanyakan. Begitu tampilannya rada OK, di tawarinya lagi Zarra.
"Lima menit lagi masuk. Takut kena setrap entar gimana?" ucap Satria memelas.
Zarra mempertimbangkan sejenak. Ciut juga nyalinya membayangkan kena setrap guru di hari pertama sekolah.
"Mm, oke. Aku nebeng, ya?" Zarra akhirnya berucap. Dia naik motor besar itu dengan kikuk. Lupa nggak pake celana rangkepan, dia pun duduk menyampir, menyebabkan bahunya menempel di punggung Satria. Mau gimana lagi, sedel motor itu kan sedikit nungging, ya kepentok lah. Zarra jadi sebal pada dirinya sendiri. Malu.
Satria tersenyum senang.
"Kenalin. Nama aku Asep Saepulloh. Terserah kamu mau panggil aku Asep, Epul, Saepul atau Pulloh. Bebas aku mah," kata Satria di bangku depan, mulai menjalankan motornya lagi menderu jalanan.
"Iya..." Zarra cuma ber- iya-iya aja.
"Kalau nama kamu?" Satria nanya.
"Zarra!" Zarra harus mengeraskan suaranya saingan sama bunyi knalpot motor.
"Oh, Zarra namanya." Pagi itu, Satria merasa seperti baru kali pertama merasakan bangku SMA.