Salah satu impian Abichandra adalah menjadi pebisnis sukses.
Maka setiap hari Minggu, Abichandra memulai usaha rintisannya di berbagai tempat wisata di daerah Rancabali. Kadang di Patengan, Kawah Putih, Rancawalini, dan sebagainya. Dia sudah berada di lokasi pasca salat subuh. Dia menata berbagai suvenir jualan untuk dipajang semenarik mungkin. Desain mobil bak terbuka —hadiah challenge 'tidak pacaran' dari orang tuanya— sengaja dibikin eye catching dan modern, dicat warna-warni dan ditambahkan banner.
Suvenir jualannya itu berupa kaus, boneka, wayang, lukisan tangan pemandangan alam di Ciwidey, payung dan jam dinding bertuliskan nama tempat wisata di seputaran Rancabali, aneka gantungan kunci, stiker, sampai camilan-camilan seperti keripik, teh, kerupuk stroberi dan semacamnya.
Kadang ayah dan mama ikut serta menemaninya berjualan sekadar ingin membantu dan mengetahui bagaimana teknik berdagang Abichandra. Remaja satu itu ternyata memang tak main-main menjalankan usahanya. Semangatnya patut diacungi jempol. Di tengah teriknya matahari, Abichandra tetap setia menawarkan dagangannya secara langsung pada rombongan pengunjung yang hadir.
Dalam hal ini, Abichandra menerapkan strategi jualan ala ritel modern. Dia sengaja mengobral salah satu harga produknya untuk menarik minat para pengunjung, dan menaikkan sedikit harga produknya yang lain dalam berbagai varian, sehingga tidak akan mengurangi target labanya. Sikapnya yang low profile dan wajahnya yang mirip artis, menjadikan daya tarik tersendiri. Sudah beberapa kali Abichandra disangka lagi syuting FTV, bukan dagang beneran. Mama yang kebetulan sedang ikut berjualan hari itu sampai ketawa geli meneteskan air mata.
Selain berwirausaha, Abichandra tetap berusaha sekuat tenaga menjaga prestasi. Apalagi persaingan di kelas dua belas lumayan sengit, terdapat beberapa juara kelas di sana. Alhamdulillah, non-aktifnya di OSIS menjadikan waktu belajarnya semakin banyak. Abichandra semakin tekun mengejar mimpi-mimpinya. Meskipun sesekali, ada kejadian lucu yang menjadikan hari-harinya semakin berwarna, seperti tingkah Zarra di kelas.
Suatu hari, Susan mendatangi Abichandra di dua belas Ipa dua sewaktu guru Kimia berhalangan masuk. Sekolah sedang menjelang CPD atau Camping Pendidikan Dasar, jadi anak OSIS pasti sedang kacau belingsatan mengurusi ini dan itu.
"Kang Abi!" Susan memanggilnya dari luar kelas.
Abichandra sendiri kadang heran. Kenapa Susan tidak mandiri juga jadi KETOS, sedikit-sedikit selalu meminta masukannya. Jadi malas lama-lama meladeninya. Tapi kalau tidak disamperi, kasihan Susan sudah sengaja datang mencari.
"Kenapa, San?" Abichandra bertanya, ketika dia sudah menghampiri Susan di ambang pintu.
"Kang, keberatan kalau pulang sekolah Akang ikut aku ke sanggar? Kita mau rapat terakhiran sebelum CPD," ajak Susan to the point.
Abichandra berpikir-pikir sambil menghela napas pelan. Tak bisa dibiarkan terus begini. Bagaimanapun, Abichandra sudah punya fokus yang lain. Susan harus belajar mandiri.
"Sorry, San. Aku nggak bisa ikut. Udah mulai banyak pemantapan. Maafin. Kalau kamu punya pertanyaan seputar OSIS, Rita kayaknya siap bantu. Dia kan wakil aku di OSIS, jadi tahu banyak. Dan pastinya lebih enak kalau sesama cewek rembukan," Abichandra tersenyum, berusaha menjabarkan penolakannya searif dan sesopan mungkin.
Tapi dari ekspresi Susan, Abichandra tahu cewek itu kecewa. Biarlah. Habisnya mau gimana lagi?
"Ya udah, Kang. Nanti aku hubungi Teh Rita. Maafin udah gangguin Akang," suara Susan terdengar pasrah dan sedikit tersinggung. Tak seperti awal kedatangannya, Susan berbalik arah dan berjalan agak gontai.
Abichandra kelihatan lega sudah berterus terang. Dia memutar badannya masuk ke kelas, bermaksud kembali duduk di bangkunya mengerjakan tugas Kimia. Tapi di bangku depan, ada sesuatu yang menarik matanya.
Dilihatnya Zarra nyengir. Tersenyum pada Abichandra lebar-lebar sampai matanya tinggal segaris, seakan menyetujui tindakannya pada Susan.
Abichandra jadi geregetan dibuatnya. Kalau mengikuti dorongan hati, ingin rasanya mencubiti pipi cewek itu yang mulusnya menyaingi porselen. Tapi berhubung masih terlarang, untuk sementara Abichandra hanya bisa ketawa, lalu beranjak duduk kembali ke bangkunya.
Sabar...Kalau jodoh nggak akan kemana, bisik hatinya selalu.
Hari Abichandra sempurna. Seandainya Wisnu tidak memilih hari itu untuk membisikan satu hal yang membuatnya cemas.
"Bi, aku denger si Arifin sekarang gabung sama Satria. Teuku dan Chandra juga sama. Kemaren mereka dipanggil BP gara-gara bolos tiga hari, padahal dari rumah berangkat sekolah. Terus coba kamu perhatiin. Mata si Arifin kadang merah. Aku jadi takut, Bi," ucap Wisnu sambil bergidik ngeri.
Abichandra menoleh melihat bangku Arifin yang kosong. Anak itu alpa lagi.
Kalau dipikir lagi, memang sudah jarang Arifin berinteraksi dengan mereka di sekolah. Belakangan, Abichandra terlalu asyik menekuni target-target pribadi sampai nyaris melupakan sahabat-sahabatnya. Secercah rasa bersalah muncul.
"Pulang sekolah, kita mampir ke rumah Arifin," ajak Abichandra kemudian pada Wisnu.
"Yakin emang si Arifin bakal ada di rumah, Bi? Dia kan bolos bareng si Satria tuh kayaknya!" kata Wisnu pelan pada Abichandra. Dia tak ingin seorang pun mendengar ucapannya.
"Biar aku telpon dia," Abichandra berkata.
Saat itu, mereka sedang di menit terakhir pelajaran Fisika menjelang pulang sekolah, mumpung guru mereka sedang keluar, Abichandra mengeluarkan smartphone dari dalam tas.
Dia pencet nomor Arifin beberapa kali. Tapi selalu nada tunggu "Dimana Bapa" by Wina yang membelai-belai telinganya. Lagu favorit si Arifin.
"Nggak diangkat, kan? Aku udah nyoba dari kemaren-kemaren, Bi. Zonk!" ucap Wisnu yakin.
Abichandra buru-buru memasukkan smartphone kembali ke dalam tas, karena guru mereka sudah kembali masuk ke kelas.