My Truly Destiny Part 2

Vina Marlina
Chapter #7

The Dark Side

Prang!

Gelas yang digenggam Zarra tergelincir dari jari-jarinya, pecah menghantam lantai. Hatinya laksana tercerabut, nyeri ke akar-akarnya. Dilihatnya Om Haris sedang menjambak kasar rambut mama hingga kepalanya terdongak ke belakang.

"Ampun, Yang..." Mama merintih.

Tapi Om Haris tidak peduli. Dia setengah menyeret mama Zarra ke dalam kamar lalu mengempaskan pintu hingga menutup. Menyebabkan kaca ventilasi di atasnya bergetar. Di dalam sana, Zarra kembali mendengar ratapan mama, bercampur makian papa tirinya.

"Setan! Dasar lonte! Kamu anggap apa aku? Mesin uang? Sampai kamu berani main di belakangku!"

"Ampuuuun, Yang. Jangan salah pahaaam!"

Zarra terduduk di ambang pintu dapur, tak kuat menahan apa yang dilihatnya barusan. Air mata yang beberapa saat lalu hanya menitik, kini menderas menjadi satu aliran di pipi putihnya. Jemarinya memungut satu per satu pecahan gelas yang tak sengaja dia jatuhkan.

"Allh...Allah...Allah..." Zarra melafazkan Asma Rabb-nya berulang-ulang, mencari pijakan.

"Wanita sialan!" kembali Om Haris memaki.

"Aaaaaaargh!" mama Zarra menjerit keras. Mengenaskan.

Zarra terperanjat. Pecahan kaca yang sedang dipungutnya terlempar lagi ke lantai. Dia menghamburkan diri ke depan pintu kamar mama, digedornya pintu beberapa kali. Suaranya pecah oleh tangisan.

"Mama! Mama! Om, tolong jangan pukul mama aku lagi, Om!"

Zarra terus menggedor. Selang beberapa menit kemudian lelaki setengah baya yang berwajah sangar itu, membuka pintu kamarnya. Bola matanya semerah darah, napasnya santer berbau alkohol. Satu tangannya memegang botol minuman keras.

"Heh, anak setan! Sekali kamu ikut campur lagi masalah orang tua, bukan cuma mama kamu yang bakal dapet pelajaran!" Om Haris menyorongkan botol minuman yang dipegangnya ke arah kening Zarra.

Sepintas, Zarra melihat kondisi mama yang terkapar lemah di atas lantai, berwajah lebam dan bernoda darah. Mama menoleh menatap putrinya, sebelum pintu kamar ditutup kembali oleh sang suami, persis di depan wajah gadis yang sedang mengkeret ketakutan itu.

Bunyi berdebum sangat keras terdengar!

Tercekam kesedihan yang menggunung, Zarra lantas berlarian ke kamarnya, mengempaskan tubuh ke atas ranjang ber-bed cover Hello Kitty berukuran queen size. Dia membenamkan kesakitannya.

Seandainya Zarra tidak sedang disibukkan lara hatinya, mungkin dia akan menyadari betapa ramai jalan raya yang tidak seberapa jauh dari pelataran rumahnya itu.

Bruuuum! Bruuuum! Bruuuum!

Gerungan motor yang meraung-raung dan memekakkan telinga menghidupkan malam. Belasan motor konvoi di atas aspal basah sisa hujan, menepis kabut tipis yang melingkupi bumi Rancabali. Berada paling depan adalah Ninja Kawasaki merah yang memimpin iring-iringan itu menuju danau Patengan.

Malam itu selepas Isya, tepatnya pukul 19.15 menurut jam dinding yang menempel di kamar Abichandra, panggilan mama di lantai bawah yang mengumumkan kedatangan Wisnu terdengar.

"Aabi! Ada Wisnuuuu!"

"Iyaaaaa. Suruh masuk aja dulu, nyuci piring gituuu!" teriak Abichandra.

Mama ketawa renyah.

Abichandra berpenampilan siap tempur. Sudah berjins biru dan kaus hitam plus dipadu jaket kulit milik Saka, dia tak lagi mirip murid SMA, melainkan anak jalanan yang muncul entah dari mana rimbanya. Rambutnya yang pendek rapi diacak-acaknya sedikit. Nah, begini baru OK!

Alhamdulillah, Saka berkenan meninggalkan beberapa kostum offroad-nya, tak semuanya dibawa mengungsi ke kosan. Kalau tidak begitu, Abichandra bakal kebingungan. Bagaimana cara menyamar ala anak motor yang baik dan benar menurut versi remaja zaman sekarang.

Hmm, parfuman, jangan? Abichandra ragu-ragu melirik botol parfum kesayangannya. Ah, nggak usah! Memangnya mau ke masjid, mesti rapi dan wangi, putusnya.

Abichandra lalu menyambar sepasang sepatu kets yang biasa dipakainya pergi latihan taekwondo. Dibawanya turun ke lantai bawah.

"Wow, Bi. Mau kemana kamu?" tanya mama terpana, pangling lihat putra bungsunya.

"Mau jalan-jalan dulu sama Wisnu ke danau Patengan, Ma," jawab Abichandra, menyempatkan mengecup pipi mama sebelum melangkah (ngeloyor) pergi ke ruang depan, tempat Wisnu menunggu.

Tapi di ruang tamu, gantian Abichandra yang dibuat terpana melihat penampilan Wisnu.

"Wis, ini mau nyamperin geng motor apa ke kondangan?" celetuk Abichandra spontan.

Wisnu berdiri tegak mengenakan celana katun hitam, sweater biru berenda, pantofel berkilat. Dan seakan belum cukup, di lehernya melilit syal berwarna kuning terang.

Lihat selengkapnya