My Truly Destiny Part 2

Vina Marlina
Chapter #9

Between the Adhan and the Vodka

Om Haris keluar dari kamar. Terhuyung-huyung menuju dapur.

Matanya berat dan kepalanya sungguh pusing tak tertahankan, tapi dia bertekad akan menghabiskan seluruh persediaan Vodka dalam kulkasnya. Azan subuh mengalun dari speaker masjid berjarak beberapa rumah dari tempat dia tinggal.

Zarra keluar dari kamar mandi dekat dapur, baru saja berwudu. Diliriknya Om Haris yang sedang membungkuk membuka kulkas. Mengambil satu lagi botol minuman dari sana.

Mata Zarra membesar. Dia tidak mau mabuk Om Haris makin parah. Meski takut, dihampirinya juga sang papa tiri.

"Om..." gumamnya.

Om Haris mendongak, berusaha memfokuskan diri memandangi Zarra. "Oh, kamu anak setan..." katanya sembari menyeringai.

"Om, aku bantu ke kamar, ya. Biar aku bawain minumannya," Zarra berusaha mengambil botol dari tangan Om Haris.

"Nggak usah, anak setan! Aku bisa sendiri!" seru Om Haris kasar, mempertahankan botolnya dalam cengkeraman.

"Tapi Om udah mabuk banget!"

"Gua bilang jangan ikut campur ya jangan ikut campur, anak haram!"

Om Haris murka. Dikuasai rasa mabuknya, dia menampar wajah Zarra hingga gadis itu tersungkur menabrak meja makan yang keseluruhannya terbuat dari kaca. Meja itu langsung terguling dan pecah berkeping-keping, menghujani tubuh Zarra yang jatuh tertelungkup. Pecahannya mengenai pipi, hidung, dan kening Zarra. Begitupun tangan dan beberapa bagian vital tubuhnya, seperti dada dan perut.

Zarra memekik. Darah segar mengalir keluar dari beberapa titik wajah dan tubuhnya. Perihnya tak terkatakan. Tapi tak ada seorang pun yang datang menolong. Om Haris sudah pergi membawa minumannya keluar dapur. Meninggalkan Zarra sendirian.

"Allahu Akbar... Ya Allah kupasrahkan hidup dan matiku pada-Mu..." rintih Zarra, tenggorokannya serasa tercekik. Kepalanya terasa pusing. Sesak oleh deraan rasa perih. Apakah ini akhir hidupnya? Namun, dia berusaha mengikhlaskan apa pun takdirnya. Air matanya pun luruh tak terbendung lagi.

Rey mendengar kegaduhan di dapur. Apa itu yang pecah? Dia terperanjat di sofa ruang tamu, terbangun dari tidurnya. Baru sejam lalu dia pulang ke rumah, mencoba membaringkan tubuhnya sebentar.

"Pah?" Rey memanggil ketika dilihatnya papa baru keluar dari dapur. Tapi lelaki itu tidak menanggapinya sama sekali. Terus saja jalan sempoyongan menuju kamarnya, mendekap erat botol vodka seolah itu adalah benda yang paling berharga untuknya di dunia ini.

Rey memutar bola mata. Percuma mengandalkan papa, mending dia cari tahu sendiri apa kira-kira benda yang dipecahkan kali ini. Dikuceknya mata sebentar, mengusir pening karena terbangun tiba-tiba. Kemudian tanpa curiga, Rey melangkah menuju dapur.

Setibanya di sana Rey menemukan sesuatu yang amat mengguncangkan jiwa.

"Zarra!" teriak Rey panik. Secepat mungkin menghampiri Zarra yang tertelungkup berdarah-darah di atas pecahan kaca. Gadis itu masih sadar, tapi hujaman kaca yang menempel rata di sekujur tubuh membuatnya tak berdaya, bahkan untuk bergerak. Meski begitu, dipaksanya untuk menoleh ke arah suara.

"Rey," ucap Zarra lemah. Wajah moleknya terluka. Tersayat-sayat kecil di beberapa bagian kening, pipi dan hidungnya. Rambut panjangnya yang hitam, terhampar di lantai laksana birai yang berpadu serpihan kaca.

"Iya, ini aku," Rey berucap lirih. Dia berjongkok menjulurkan tangannya selembut mungkin menangkup tubuh Zarra, mengangkatnya dalam dekapan. Lalu dibalikannya tubuh gadis yang dicintainya itu perlahan, supaya terlentang menghadapnya. Banyak banget pecahan kaca yang menempel di tubuh Zarra, terutama di dada dan perutnya. Darah segar menetes-netes dari semua luka sayatan itu, membasahi lantai dapur.

Zarra mengernyit. "Sakit..." keluhnya pelan.

Rey terkesiap. Hatinya seperti terhantam palu godam. Diperhatikannya wajah Zarra yang memucat kehilangan banyak darah. Gawat!

Lihat selengkapnya