My Truly Destiny Part 2

Vina Marlina
Chapter #10

The Deepest Heart

Sarah meragu.

Barusan Zarra menghubungi bahwa dia sedang dirawat di klinik tak jauh dari rumahnya. Semula, Sarah ingin langsung menengok Zarra sepulang sekolah, tetapi entah kenapa rasanya tidak etis kalau tidak memberitahukan hal ini pada Abi. Terlepas dari kerumitan hubungan yang terjadi antara dia, Zarra, dan Abichandra, bagaimanapun juga cowok itu adalah Ketua Murid di kelasnya!

Setelah beberapa lama berpikir, akhirnya dia membuat keputusan.

"Bi," ucap Sarah pelan, menghampiri bangku Abichandra sewaktu istirahat.

Abichandra mendongak menatapnya, "Ya, Sarah?" Hatinya heran, tumben-tumbennya Sarah menyapa duluan. Duduk di sebelahnya, tampak Wisnu memperhatikan gelagat mereka baik-baik, mengecek apakah masih ada keanehan di antara Sarah-Abi atau tidak.

"Zarra dirawat di klinik, Bi. Rencananya aku mau nengok pulang sekolah ini," kata Sarah cepat.

"Oh!" Abichandra kaget. "Sakit apa dia?" tanyanya. Jelas terlihat kekhawatiran dari wajahnya.

Sarah menggeleng. "Zarra nggak cerita. Dia cuma minta tolong aku mengizinkan ke sekolah."

"Nanti kita ajak sekalian perwakilan kelas buat nengokin juga," putus Abichandra.

Beberapa jam kemudian sepulang sekolah, Abichandra, Wisnu, Arifin, Sarah, Bonny sang bendahara kelas, ditambah Putra, sudah duduk berdesak-desakan di angkot berwarna kuning jurusan Ciwidey-Barutunggul. Di luar sedang hujan deras.

"Heh, Putra! yang bener atuh bawa bolunya. Kalau hancur, awas nanti!" Wisnu menyemprot Putra yang lagi mengangkat bolu menggunakan sebelah tangannya. Sementara tangan satunya lagi, asyik menyisiri rambutnya pakai jari.

"Idih, galak bener! Gue sun juga ntar kalau galak-galak!" Putra menyahut centil, cuek lihat beberapa penumpang ibu-ibu menatapnya aneh.

Abichandra dan Arifin susah payah meredam tawa.

"Alah siah, Wis! Makanya jangan cemberut aja!"' Arifin menggoda Wisnu.

Sarah dan Bonny ikut ketawa.

"Rasain, lu!" Bonny turut berkomentar sadis.

Wisnu memberengut. Ingin meneruskan peperangan tapi bangunan klinik sudah kelihatan. "Kiri, Pak!" serunya.

Satu per satu dari mereka pun turun dari angkot dan memasuki klinik terburu-buru menghindari tetesan hujan.

"Assalamualaikum!" Sarah pertama kali mengucapkan salam dan tiba di ruangan. Disusul Bonny, Wisnu, Arifin dan Putra.

"Eh, itu kan..." Sarah tergagap kaget melihat Zarra sedang berbaring, ditemani sesosok pria oriental yang selama ini jadi momok menakutkan bagi sahabatnya yang bermata sipit itu.

Rey sedang duduk di kursinya, menyuapi Zarra.

Abichandra, Wisnu, dan Arifin terbelalak melihatnya. Sikap mereka langsung berubah waspada. Ketegangan menyeruak. Arifin malah berinisiatif mengatur tenaga dalam, siapa tahu semenit lagi dia perlu menggebuk si Rey. Kedua tangannya sudah mengepal di samping tubuh.

"Ngapain dia di sini?!" kata Arifin menantang.

Sontak Rey menoleh memandanginya. Tatapannya sedingin es. Dari ekspresi semuanya, Zarra menyadari suhu atmosfer yang meningkat tajam.

"Kak, bisa tolong beliin aku buah? Aku pingin anggur," Zarra terburu-buru 'mengusir' Rey keluar ruangan, takut ada pertumpahan darah di sana.

Rey tidak menjawab. Dia paham maksud Zarra. Tanpa berkata apa-apa lagi, diletakannya mangkuk bubur ke atas meja kecil di samping pembaringan Zarra sebelum keluar dari tempat itu.

Setelah Rey tidak ada, semua bergerak menghampiri kanan dan kiri Zarra.

"Zarra, kamu sakit apa?" Putra mendekatkan wajahnya ke pipi Zarra, bermaksud cipika-cipiki tadinya, tapi Arifin keburu menyambar seragamnya dari belakang.

"Heh! Kadieu, maneh (Sini, kamu)!" tukas Arifin menahannya, bikin Putra sewot.

"Fiiiiin, seragam aing rusak geura, ai sia teh kumaha! (seragamku rusak nanti, kamu itu gimana!)" Kalau lagi murka, bahasa Sunda paling kasar pun Putra keluarkan.

Wisnu dan Bonny ngakak kencang-kencang. Zarra juga ketawa.

Tapi Abichandra dan Sarah tidak. Mereka berdua memperhatikan luka-luka di tubuh Zarra dan merasa sangat prihatin, khawatir sekaligus penasaran. Apalagi bagian perut dan dada Zarra kelihatan menggelembung, meski terhalang gamis dan kerudungnya.

Apa itu? Balutan perban? Zarra luka dari apa sebenarnya? Kenapa penuh sayatan semua?

"Zarra, kamu sebetulnya kenapa?" tanya Sarah cemas.

Zarra tersenyum, "Aku jatuh kepeleset nabrak kaca. Salah aku nggak hati-hati," ucapnya mencoba meyakinkan, tapi satu jemarinya bergerak tanpa sadar memainkan ujung kerudung putihnya, pertanda kegelisahan.

Melihat itu, Abichandra jadi sangsi. Dia sudah mengenal Zarra cukup lama. Pastinya cewek itu kepaksa berbohong demi satu alasan. Abichandra juga melihat mata Zarra sembab dan bengkak. Sekeras apa pun jatuhnya, masa luka yang diderita Zarra sampai sebanyak ini? Mungkinkah Zarra sengaja dibuat jatuh?

Firasat Abichandra benar-benar tidak enak, apalagi Rey sudah kembali.

"Zarra..." kali ini Abichandra memanggilnya, menatapnya lekat-lekat. "Aku tahu," begitu katanya. Maksudnya, dia tahu kalau Zarra tidak jujur. Dan Zarra mengangguk membenarkan, senang Abichandra memahaminya.

Mereka berdua bertatapan sejenak dan penuh makna, bertukar isyarat dalam pikiran. Abichandra tahu kalau Zarra akan menceritakan segalanya nanti, tapi tidak di depan teman-temannya.

"Apaan sih main kode-kodean gitu. Sebel, deh!" Putra melontarkan pertanyaan yang tersimpan di benak teman-temannya. Dia bolak-balik memperhatikan kelakuan Zarra dan Abichandra yang mencurigakan.

Abichandra hanya terdiam. Keresahan dalam hatinya sudah tidak bisa ditahan lagi. Dia tahu lebih bijaksana baginya untuk menunggu menanyakan hal ini pada Zarra, seperti rencananya semula. Apalagi ada teman-temannya di situ. Tapi melihat kondisi Zarra sekarang, dia merasa gundah gulana. Sedih membayangkan Zarra harus menanggung kegetiran hidupnya sendirian.

Kelihatannya memang sudah tidak boleh ditunda lagi. Zarra tidak boleh berada lebih lama di lingkungan keluarganya.

Sudah lama dia memikirkan masalah ini. Berulang kali. Bahkan, niatannya ini sudah pernah dia utarakan pada orang rumah. Meski sempat bikin anggota keluarganya heboh, tapi mereka semua mendukung pada akhirnya.

Abichandra ingin memberitahu, bahwa Zarra nggak sendirian. Kalau semuanya berjalan lancar, tak lama lagi dia akan membawa Zarra pergi. Selepas lulus SMA, barangkali. Insya Allah.

"Ehm, Zarra..." Abichandra membersihkan tenggorokannya. Mulai merasa gugup.

Lihat selengkapnya