My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #3

The Girl

Selepas MOPD, sang Ketua OSIS melenggang kangkung seperti biasa. Semangatnya ON menyaingi matahari terbit, siap menjalani hari.

"Abiiiii! Tungguiiiiin! Jalannya jangan kekencengan, dong!"

Seorang gadis cute bertubuh mungil dengan lip gloss pink cerah melambaikan tangan, berlari mengejar. Langkah Abichandra terhenti. Ia memutar badan menghadapnya.

"Kenapa, Teh?" sapanya pelan.

Gadis itu bernama asli Loli, tapi ia lebih suka dipanggil Lolita. Salah satu cewek tergaul di kelas XII, yang hobi bolak-balik memenuhi panggilan guru BP karena urusan make up dan seragam ketatnya.

Lolita tersenyum genit, matanya menatap Abichandra penuh perhatian. Ia menyibak rambut shaggy-nya yang sebahu.

"Aduh, jangan panggil Teteh lah, Bi. Cuma beda setahun, panggil Lolita aja," suaranya sengaja dihalus-haluskan. "Em, ini loh. Aku mau kasih undangan ulang tahun aku ke kamu minggu depan. Terus... Mm... Oh iya, hampir lupa. Aku juga mau pesan kue tart ke Mama kamu dong, Bi. Bisa kan nanti sekalian kamu anterin ke rumah? Pliiis, Bi." Lolita menyodorkan sepucuk kertas undangan berwarna cerah dengan tampang sememelas mungkin.

Abichandra tahu persis aroma modus di udara. Atas nama kesopanan, ia menerima kartu undangan tersebut. Padahal, ia paling malas mendatangi undangan selain pernikahan, syukuran, atau tahlilan.

"Makasih undangannya ya, Loli. Insya Allah nanti aku anterin brosur kuenya ke kelas kamu. Tapi maaf banget, minggu depan kayaknya aku ada laporan OSIS yang harus diberesin," katanya, memandang sekilas cewek di depannya penuh simpati. "Mungkin kakak aku nanti yang nganterin pesanan kue tart kamu ke rumah. Enggak apa-apa, kan?"

Lolita tampak kecewa. Hatinya merasa geregetan. Ini bukan kali pertama Abichandra menolak tawarannya. Sok jual mahal banget sih kamu, Bi! Tapi anehnya aku tetap enggak bisa marah! gerutunya dalam hati.

"Iya deh, enggak apa-apa. Tapi kalau aku ngadain acara lagi, wajib hadir loh ya, Ganteng!" Lolita sampai desperate menggencarkan jurus merayu.

Abichandra menyabarkan diri menghadapi makhluk centil di depannya. Ia tak menolak ataupun mengiyakan, hanya menunduk menimang undangan di tangan kanannya. Lolita semakin gemas.

"Aku tunggu kamu di kelas aku pas istirahat. Eh, maksudnya brosur kuenya," Lolita nyengir lebar, satu tangannya memelintir ujung rambutnya.

Abichandra tertawa kecil. "Aku ke kelas dulu. Sebentar lagi bel masuk," pamitnya. Ia mengangguk sopan lalu membalikkan tubuhnya dan pergi. Sama sekali tak sadar sudah membuat anak gadis orang nyaris pingsan di tempat karena ambyar.

"Aaaa. Apa itu tadi, si Abi senyumin akuuuuuuu?! Oh my Goooood! Oh my Goooooood!" jerit Lolita tertahan, memegangi kedua pipinya yang memanas. "Mungkin enggak ya kalau dia naksir aku? Huwaaaaa, Abiiiiiii!"

Lolita menghentak-hentakkan kakinya.

Kasihan Lolita, sudah terlanjur GR berat. Abichandra sibuk memegangi tengkuknya di sepanjang lorong kelas. Merinding. Sekaligus prihatin.

Aneh-aneh aja kelakuan cewek zaman sekarang. Jauh banget dengan para Sahabiyah. Ngobrol sama lawan jenis aja dari balik tabir saking pemalunya. Abichandra mengingat-ingat penggalan sirah nabawiyah yang pernah dia baca, sambil mengarahkan kaki menuju kelasnya di bukit buatan.

***


Bangunan SMA Harapan Rancabali merupakan barisan gedung satu lantai sederhana berbentuk tapal kuda dengan lapangan olahraga di tengah. Kelas Abichandra, XI IPA 2, terletak di atas perbukitan kecil.

Sebelum memasuki kelasnya, Abichandra melakukan ritual pagi. Memindai situasi dari jendela. Tampak seisi kelas sedang gradak-gruduk mencari contekan Biologi yang akan dimulai jam kedua. Dasar!

Menahan tawa, Abichandra sigap membungkukkan badan. Ia mengurungkan niat ke kelas, memilih mengendap-endap menuruni bukit. Mending ngacir ke mushola daripada jadi tumbal. Ia selalu jadi target contekan kawan-kawannya.

"Solider dong, Bi, bagi-bagi PR-nya bisa kali."

"Alah jangan pelit kayak gitu atuh, Bi, pamali."

Selalu begitu bujukan mereka. Dengan berat hati Abichandra terpaksa memasrahkan PR-nya, meski nuraninya menolak mentah-mentah. Ia tak suka, merasa ikut mensponsori budaya kemalasan. Ujung-ujungnya, ia selalu merasa bersalah.

"Dhuha dulu ah, sekalian cari aman," putus Abichandra, berjalan menuju mushola untuk melakoni salah satu rutinitas hariannya.

Lihat selengkapnya