My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #5

About Her


Cuma satu kata yang mampu menggambarkan kondisi SMA Harapan Rancabali setelah Zarra resmi terdaftar sebagai siswi: Chaos.

Semenjak kedatangan gadis berwajah oriental itu, penghuni sekolah—terutama para cowok—menyambutnya dengan suka cita dan tangan terbuka. Kurva semangat belajar meningkat drastis. Pelajaran Bahasa Indonesia mendadak jadi favorit, karena bisa dimanfaatkan untuk mengutip sepatah dua patah puisi cinta. Pujangga amatiran bermunculan di mana-mana, menyebabkan anak-anak Mading kebanjiran titipan puisi untuk diterbitkan.

Euforia semakin menjadi begitu mengetahui fakta bahwa Zarra bukan anak baru kelas X seperti disangka sebelumnya, melainkan siswi kelas XI, seangkatan dengan mereka. Walah... sudah tentu anak-anak OSIS paling tengil sekelas Arifin, Teuku, Chandra, dan Wisnu jadi semakin berbunga-bunga. Artinya, mereka tak akan kehabisan bahan PDKT. Yah, walau sekadar berbagi informasi tentang PR atau guru ter-killer di sekolah.

"Bunga mawar bunga melati. Kusirami setiap hari. Wahai Dek Zarra pujaan hati. Ijinkan Abang mencintai sepenuh hati!" Arifin membacakan pantun ciptaannya sendiri, persis di depan kelas Zarra, di tengah perjalanannya menuju WC.

Kontan seisi kelas kacau, tertawa terbahak-bahak. Padahal Bu Risma sedang mengadakan ulangan dadakan Biologi. Beliau sontak uring-uringan, keluar kelas sambil berkacak pinggang, menunggu Arifin kembali—gatal ingin menjewernya.

Untungnya, tak semua guru se-kesal Bu Risma. Beberapa malah terang-terangan mengucap hamdalah berkali-kali. Bersyukur, begitu mendengar laporan guru BP, kurva kebolosan siswa menurun drastis. Mungkin daripada bolos tak karuan, lebih baik melihat langsung penampakan cewek cantik di sekolah.

Kecantikan Zarra memang berbeda dari cewek kebanyakan di sini. Wajahnya fotogenik, enak banget dilihat. Selain itu, sikapnya yang dingin, kaku, tapi malu-malu malah membuatnya tambah imut dan menggemaskan. Meskipun Zarra sendiri sudah berusaha tampil sesederhana mungkin, dia tetap terlihat menonjol. Tak tahu kenapa.

Namun sayang, berbanding terbalik dengan para siswa, siswi-siswinya banyak yang tak rela sekolah mereka 'dinodai' kedatangan Zarra. Mereka tidak menyambut, melainkan cenderung ingin menyambit.

Seperti Lolita, misalnya. Setiap hari ia monyongin bibir melulu tiap kali Zarra melintas. Mencibir.

"Huh, tampang sih boleh Korea, tapi soal penampilan mah ndeso!" bisiknya sengit pada partner in crime-nya, Santi.

"Heem... Aturan kudu kursus mode juga meureun (mungkin) tuh anak baru," Santi berkomentar sinis, memelintir rambut keritingnya dengan jari kelingking.

Lihat selengkapnya