My Truly Destiny

Vina Marlina
Chapter #6

Still About Her


"Oh, terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doa hamba-Mu ini!" Arifin komat-kamit, berlutut di lantai koridor depan papan pengumuman. Kedua tangannya menengadah ke langit, persis orang sedang berdoa minta hujan.

"Fin, bangun woi. Malu-maluin aja!" tegur Abichandra kesal. Situasi sekolah sedang padat. Abichandra terpaksa melemparkan senyum basa-basinya ke murid-murid yang berlalu-lalang karena ikut terbawa malu.

"Bi, ini adalah hari terindah yang ada di hidupku, please banget jangan ganggu," Arifin memejamkan mata, konsentrasi meresapi kebahagiaannya.

"Kenapa dia, Bi?" tanya seorang siswa sambil meletakkan telunjuk miring di dahinya sebagai isyarat tidak waras.

"Tahu. Arifin baru dapat lotre kayaknya, SMS hadiah uang seratus juta!" Abichandra menjelaskan asal-asalan, memandangi Arifin sebal. Biasanya kalau kelakuan Arifin begini, alasannya cuma satu.

"Di pelajaran olahraga nanti, aku kudu bisa memenangkan hati Zarra. Kapan lagi coba kelas kita olahraga gabungan bareng kelas Dek Zarra. Renang lagi!" Arifin ber-yes-yes di kata 'renang'.

Tuh, kan... Zarra lagi... Zarra lagi... Abichandra lelah.

Tak disangka, Bu Risma kebetulan sedang berjalan di lorong itu menuju ruang guru. Diperhatikannya beberapa lama kelakuan ajaib Arifin, lalu ditepuknya pundak anak itu agak kencang.

Abichandra membelalak ngeri. Meskipun sepintas wajah Bu Risma mirip putri Solo yang ayu lembut, konon kalau sudah marah hobinya menoyor kepala siswa sampai keleyengan. Selain itu, kalau mood-nya sedang jelek, beliau bisa terkena 'amnesia' mengajar lantaran memilih menceramahi siswa bandel selama dua jam penuh! Pokoknya gawat.

"Fin... bangun Fin...!" Abichandra kelimpungan memanggil, nada suaranya putus asa.

"Diam lu, Bi! Gangguin orang senang aja!" Arifin menepis kasar tangan Bu Risma dari pundaknya.

"AAARIFIIIIIN!" Suara Bu Risma laksana tektonik skala 10 richter. Amarah beliau yang merayap naik ke ubun-ubun sudah meletus. BUUUUUM! Gunung Merapi saja kalah. Seisi lorong langsung heboh, pontang-panting mencari selamat.

"Lagi ngapain kamu?! Bikin keributan aja kerjanya! Ayo balik sana ke kelas! Sebentar lagi masuk!" Bu Risma teriak-teriak kencang, tangannya sudah bergerak hendak menoyor kepala Arifin.

"Ampun, Ibuku, ampun!" Arifin langsung semaput dan refleks menghindari toyoran Bu Risma. Tapi ketika bangkit berdiri, wajah Arifin sudah seputih mayat. Diciuminya tangan Bu Risma berulang-ulang sebelum tunggang-langgang angkat kaki dari situ.

"Bi, kamu juga sama. Kamu kan ketuanya, masa anak OSIS bandel kayak begitu! Dibilangin dong si Arifinnya!" Bu Risma balik memarahi Abichandra. Tadinya beliau sudah bersiaga ingin menoyor kepala juga, tapi berhubung Abichandra anaknya ganteng, Bu Risma jadi ingat anak kandungnya di rumah. Lambat laun, letupan amarah beliau pun mulai terkontrol.

Abichandra menangkupkan tangannya memohon-mohon, "Maafin saya, Bu. Iya saya bilangin Arifinnya sekarang, permisi..." Lalu tanpa membuang waktu, dikejarnya Arifin ke dalam kelas untuk dijitaknya kuat-kuat. Awas kamu, Fin! Nasib bersahabat dengan tukang besi, bukan penjual minyak wangi, ya begini, suka kecipratan bau enggak enaknya.

***

Siang hari, langit Rancabali biru cerah. Meski tidak ada aturan tertulis, seakan sudah tradisi bagi semua siswa untuk tampil se-wow mungkin di ajang renang yang diselenggarakan di luar sekolah. Semuanya dibebaskan bereksplorasi dengan pakaian non-seragam asalkan sopan.

Kapan lagi punya kesempatan untuk ngeceng maksimal?

Parkiran kolam renang air panas Rancawalini memadat dalam hitungan singkat. Jangankan yang sudah memiliki pacar satu sekolah, yang masih jomblo pun tetap nekat membawa kendaraannya sendiri. Mana tahu dapat gebetan dalam perjalanan pulang.

Sepulang sekolah, Abichandra pergi renang membawa Vixion hitamnya, plus membonceng seseorang.

Teman sebangkunya.

"Bi, kayaknya mendung banget. Bakal hujan ini!" Wisnu mengarang indah, padahal cuaca lumayan terik. "Kita bolos aja, yuk," rayunya lagi sepenuh hati, sambil memeluk pinggang Abichandra, bikin cowok itu meliuk kegelian.

"Alaaah... Bilang aja enggak bisa renang!" Abichandra tergelak, menebak dengan tepat kekhawatiran sahabatnya. "Kalemin, Wis. Siapa tahu Pak Didin malah ngasih kamu privat renang gratisan, kan lumayan!"

Otomatis, wajah Wisnu makin pucat. "Sialan kamu, Bi!"

Lagi seru-serunya mengerjai Wisnu, di tengah perjalanan, Abichandra melihat penampakan seorang gadis berambut panjang hitam sepunggung berjalan kaki sendirian.

Lihat selengkapnya