Usai salat Magrib, Mama Abichandra mondar-mandir di ruang keluarga. Mukena putih yang dipakainya melambai ke sana kemari.
"Aduuuuh, ke mana si Abi teh," gumam Mama, tidak bisa menyembunyikan keresahan. Di luar rumah, kabut putih mulai merayap-rayap menelan bumi di sekitarnya.
"Sabar atuh, Ma, baru jam tujuh kurang. Paling si Abi mampir salat dulu di jalan. Mending jangan ngebut di cuaca begini mah, picilakaeun (berbahaya)," Ayah Abi menatap istrinya lewat kacamata plus. Di pangkuannya terdapat Al-Qur'an yang terbuka.
"Iya, tapi gimana kalau ternyata ada apa-apa, Yah,"
"Hus! Jangan suka ngelantur, Ma... Lebih baik doakan. Sini duduk," tegur Ayah lembut.
Barulah Mama bersedia duduk gelisah di samping suaminya di sofa. Geser sana, pindah sini. Ya begitulah seorang ibu, di mana-mana sama. Selalu kuatiran.
"Tenang, Ma. Sebentar lagi insya Allah Abi pulang. Dia udah dekat rumah. Tadi udah kucek posisinya lewat Google," kata Andatari turun dari tangga mengayunkan smartphone-nya, lalu beranjak duduk di dekat Ayah.
"Ya Alhamdulillah kalau begitu. Tapi tetap aja Mama pengen cepat-cepat lihat si Abi, supaya tenang hati Mama. Mana tadi udah bawa cewek, coba. Kirain cuma Saka yang harus ekstra dipeduliin sama Mama, eh ternyata si Abi malah lebih parah, tiba-tiba bawa pulang cewek blasteran kayak artis Korea. Haduuuh, anak itu kabina-bina teuing (keterlaluan)!" curhat Mama, mengusap-usap dadanya.
"Apa atuh, Ma," Saka ikutan turun dari lantai dua, nyengir melihat kelakuan Mama.
Andatari dan Ayah tertawa-tawa. Si Mama kalau sudah curhat lebay-nya level 10!
Tak lama, di jalan raya depan rumah terdengar raungan motor, disusul suara pintu garasi yang terbuka.
"Alhamdulillah, si Abi pulang juga," celetuk Mama lega, sengaja berjalan tergesa menyambut kedatangan putra bungsunya.
"Abi!" panggil Mama sesampainya di ruangan samping rumahnya, tempat motor Saka dan mobil Ayah tersimpan. Dihampirinya si bungsu.
"Ih, Mama, ngapain nunggu di sini, Ma?" tanya Abichandra, cepat-cepat membuka helm dan menyimpannya di setang.
"Kita semua kangen sama kamu pengen ngobrol-ngobrol," tukas Mama, membelai lengan Abichandra.
"Bentar Ma, Abi nutup garasi dulu," katanya sembari turun dari motor dan menutup kembali pintu garasi rapat-rapat.
"Kamu udah salat Magrib belum, Bi?"
"Udah tadi di jalan, Ma."
"Alhamdulillah. Mama khawatir banget. Habis kamu nganterin Zarra-nya lama. Kirain kamu kejebak kabut."
"Oh, hehehe..." Abichandra cengengesan. Menggaruk-garuk tengkuknya. Masa mau bilang tadi dia menemani Zarra sampai reda tangisannya dulu. Kan impossible.
Memasuki ruang keluarga, Abichandra menyiapkan mental. Terlebih melihat Ayah dan Kakak perempuannya sedang tersenyum-senyum penuh arti.
"Eh adekku tersayang udah pulang. Udah belajar pacaran nih Adek kecil Kakak? Diam-diam menghanyutkan kamu mah, Bi!" tembak Andatari begitu Abichandra duduk di sofa bersama mereka semua. Sepasang alisnya sengaja diangkat tinggi-tinggi menggoda adiknya.
Ayah senyam-senyum memandangi putra bungsunya. Badan beliau dicondongkan. "Jadi gimana ceritanya bisa nganterin cewek pulang. Kata Mama, dia kayak blasteran Korea. Benar?"
Yaaah, Ayah sama aja. Pada sekongkol nih! Abichandra menghela napas. Tapi belum sempat dia menjawab, Saka muncul dari dapur membawa sepiring makanan ringan.
"Ciyeee, ciyeee, gebetin bintangnya sekolah, nih yeee. Hebat euy! Kata orang-orang, cewek itu jutek-nya minta ampun, Bi! Enggak terhitung udah berapa banyak korban penolakannya. Kamu pakai trik apaan sampai bisa dekat sama dia?" serbu Saka penasaran, mengambil posisi duduk di samping Abichandra.
"Enggak sengaja, Kak. Aku juga baru hari ini ngobrol sama dia. Pas tadi mau pulang, aku lihat Zarra masih di sekolah padahal udah enggak ada siapa-siapa. Ditanyain nunggu jemputan apa enggak, dia jawabnya enggak jelas. Sebagai TEMEN, kan wajar kalau aku khawatir?" Abichandra menekankan nada bicaranya pada kata 'teman'.
"Cieeeh. Teman apa demen, nih? Jangan-jangan cewek itu sengaja nunggu kamu, Bi?" Saka terus menggoda. Kedua kakinya diangkat bersila di sofa sementara mulutnya mengunyah keripik pisang tanpa henti. Kriuk. Kriuk. Kriuk!
"Wallahu 'alam. Kita enggak ngobrolin apa pun. Jalannya juga jauh-jauhan tadi. Jangan ngegosip yang enggak-enggak ya, besok di sekolah?" pinta Abichandra pada Saka sambil mengerling cemilan penuh ingin.
"Bisa-bisa entar di sekolah, gempar," sambung Abichandra seraya mencomot beberapa keripik di piring Saka lalu memakannya.