"Kak Abi, minta tanda tangannya dong!"
"Kak Abi, saya juga!"
"Boleh ya, Kak!"
Para siswa dan siswi kelas X berebut menyodorkan buku dan pulpen, ingin mendapatkan perhatian Abichandra. Beberapa bahkan nekat mencolek pinggang, punggung, dan lengannya. Ck, agresif banget, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan! Abichandra dengan lincah berkelit, melepaskan diri dari kepungan mereka.
"Eh, tunggu dulu! Tanda tangan buat apaan ini?"
Abichandra terheran-heran. Baru juga sampai di sekolah, sudah dikerubuti seperti selebriti. Perlakuan itu membuatnya sangat risi dan merasa privasinya terganggu. Ia memperhatikan label 'X' dan pita merah putih kecil yang menempel di seragam mereka. Anak Paskibra kelas X!
Satu tangannya terangkat, memberi aba-aba agar mereka menghentikan aksi. "Stop! Stop!" kata Abichandra tegas. "Ini siapa yang nyuruh? Senior kalian?" tanyanya dengan nada menuduh.
"Iya, Kak. Buat pelantikan Calon Pasukan (CPD) nanti. Kami diminta tanda tangan semua senior dari berbagai ekskul, dan nama Kakak harus ada di urutan paling atas. Katanya, Kakak Ketua OSIS," jelas seorang siswi berpostur kurus.
Abichandra menggeleng. Sejak dulu, ia kurang setuju dengan tugas-tugas yang menurutnya kurang masuk akal seperti ini. Manfaatnya memang membuat junior dan senior saling mengenal, tetapi dampak negatifnya juga ada. Misalnya, senior yang aji mumpung menjadikannya ajang 'perpeloncoan'.
"Sini, mengantre yang rapi!" serunya lantang.
Meskipun dalam hati tidak setuju, Abichandra meraih satu buku yang paling dekat disodorkan ke wajahnya. Ia kasihan melihat tampang polos adik-adik kelasnya itu.
Anak-anak kelas X menuruti perintah Abichandra dengan patuh. Mereka berbaris panjang ke belakang, tertib. Beberapa tampak melongo memandangi Abichandra, berbisik-bisik, jangan-jangan kakak kelasnya itu pernah muncul di FTV.
"Ssst, mirip Adipati Dolken itu, ya?" bisik salah seorang kelas X. "Oh, iya. Adiknya kali?" sahut temannya, kasak-kusuk terdengar dari barisan.
Astaga, sebanyak ini yang minta tanda tangan? Abichandra meringis. Antrean itu sudah sepanjang gerbong kereta api. Ia membayangkan tangannya akan pegal sekali, mengingat total anak kelas X mencapai 350-an orang!
Satu ide tiba-tiba melintas di kepalanya. Sudah waktunya membuat gebrakan baru untuk menghilangkan siklus ‘perpeloncoan’ ini, mumpung masih di OSIS.
Ketika bel masuk berdentang, antrean masih menyisakan seperempatnya. Abichandra memasang wajah berat hati (padahal dalam hati ia lega), berteriak kepada anak-anak yang masih setia menanti.
"Nanti lagi ya tanda tangannya, keburu masuk!" serunya terburu-buru, mengembalikan buku dan pulpen ke antrean paling depan, lalu bergegas ke arah kelasnya. Ia meninggalkan kerumunan anak kelas X yang mendesah kecewa.
Abichandra menyangka akan terbebas dari segala bentuk tarik-menarik paksa, setidaknya untuk sementara. Namun, Wisnu tiba-tiba menarik lengannya, menjauhi keramaian siswa yang menyemut di lorong.
Apa lagi ini, keluh Abichandra letih. Mulutnya sudah bergerak ingin memprotes, tetapi terhenti melihat keseriusan wajah Wisnu yang penuh tuduhan.
"Bi, aku mau nanya. Kata Abah Rudi beneran kemarin kamu nganterin Zarra pulang?"
Mendengar itu, Abichandra tampak enggan menjawab. Ia malah balik bertanya, "Abah Rudi ngasih tahu yang lainnya juga?" Duh, ia malas sekali jika harus jadi ‘buronan’ the crazy paparazi se-SMA Harapan Rancabali.
"Tenang, aku sudah minta Abah jaga rahasia."
"Iya, kemarin aku nganterin dia pulang."
Wisnu terperangah, napasnya tertahan. "Tapi kenapa? Kok bisa? Bukannya kamu nggak pernah tertarik sama Zarra?" Perasaan tidak adil menyengat di dadanya. Abichandra selama ini bersikap cuek bebek, tapi kenapa berani mencuri start di belakangnya?
"Panjang ceritanya! Yang jelas, semua itu kebetulan. Kamu jangan dulu mikir macam-macam, Wis, nanti aku ceritain selengkapnya," jelas Abichandra, memahami betul gejolak dalam diri sahabatnya itu.
Wisnu tidak menjawab, hanya mengangguk kaku. Dia masih membeku, sorot matanya sulit disembunyikan.
Abichandra baru akan melangkah ke pintu kelas ketika Arifin muncul dari belakang. Wajahnya kecut campur sedih. "Ah, hari ini bakal jadi hari ter-boring dalam hidupku! Nggak seru, ah!"
"Kenapa memangnya?" Abichandra tertarik.
"Zarra nggak masuk. Kata si Evy, teman sebangkunya, dia nggak ngasih surat atau apa pun. Apa kesiangan, ya?" terang Arifin sambil masuk ke kelas.
Abichandra terpekur. Alisnya bertaut. Aneh. Apa ada hubungannya sama kejadian kemarin? Hatinya mulai cemas.
Beruntung, Abichandra cukup diandalkan oleh guru-guru. Ia bisa leluasa keluar masuk ruang guru setiap hari. Sekadar untuk membantu membawakan buku-buku tugas dan catatan teman-teman sekelasnya, sambil menyelam mencari info tentang Zarra.
"Zarra alpa, Bi," kata Bu Risma setelah selesai mengajar di kelasnya.
Lalu esok, dan esok, dan esoknya lagi, gadis itu masih tetap absen tanpa keterangan apa pun.
Di hari keempat Zarra absen, Abichandra dan Wisnu baru saja keluar kelas di waktu istirahat, berbaur dengan siswa lain menuju kantin. Abichandra menyampaikan sebuah rencana pada Wisnu.
"Wis, nanti kalau Zarra alpa lagi, kita langsung ke rumahnya aja bareng Pak Ahmad. Kamu wajib ikut."
Sejujurnya, Wisnu masih merasa perih mengingat 'kelancangan' sahabatnya. Dia sangat cemburu. Namun, akal sehatnya berkata, 'ah, masa sih harus kehilangan best-friend gara-gara cewek?' Apalagi alasan Abichandra masuk akal: kepaksa mengantar Zarra yang pulang kesorean.
Maka, ditekannya ego kuat-kuat. "Oke deh," jawab Wisnu singkat.
"Wooooy! Awas! Awas! Minggir… kasih jalan!"
Dua anak PMR kelas XI, Ringgo dan Aditya, tampak menggotong seorang gadis pingsan menuju UKS. Mereka berteriak-teriak menyingkap kerumunan.
"Siapa sih yang pingsan?" celetuk siswa-siswa. "Siapa itu, Dit?!"
Banyak siswa-siswi melongokkan kepala, ingin tahu. "Zarra!" Aditya berteriak sambil lalu.
"Hah!" Napas Wisnu tercekat. "Eh, itu Zarra, Bi…" gumamnya, terpaku pada sosok Zarra yang kian menjauh.
Abichandra speechless. Rasa cemas itu datang lagi, menyeruak dari dasar perutnya.
Sontak desas-desus pun menyebar heboh di antara siswa, dari perkiraan yang masuk akal sampai yang paling aneh. Semua bergerombol meramaikan situasi di depan UKS.
"Tuh anak nggak sarapan kali."
"Hamil kali!"