Selepas kegiatan pos-posan, langkah Abichandra terasa gontai berjalan pulang ke tenda utama. Dia baru menyadari tindakannya yang agak gegabah barusan pada Zarra. Abichandra tak memahami dirinya sendiri, kenapa dia jadi menspesialkan Zarra begini.
"Aku ngapain? Pakai ngasihin dia kayu putih segala? Kan cukup aku tanyai dia kedinginan atau nggak seperti ke peserta lainnya. Ngaco! Gimana kalau Zarra salah paham. Kesannya kok care banget," batinnya menggugat.
“Bi, enggak mampir dulu ke tenda anak pramuka?” Suara bariton Wisnu memutus paksa pikiran Abichandra yang mengembara ke mana-mana. Weleh-weleh, saking khusyuknya melamun, ia sampai kelupaan fakta kalau Wisnu setia menjejeri langkahnya dari tadi.
“Aku mau laporan sama Pak Endang, Wis,” balas Abichandra.
“Kalau besok aja laporannya enggak bisa memangnya? Hoaaaaaam!” Wisnu menguap lebar-lebar, enggak kuasa menahan kantuk. “Aku pingin tidur dulu, Bi, capek… Hoaaaaaam!”
“Tidur di sana juga bisa,” tukas Abichandra.
“Ah, ogah! Masa bareng guru-guru. Malu, Bi,” Wisnu merengek-rengek. Pasti tidurnya enggak bakal bebas dikelilingi para guru. Yang ada malah disuruh ngecek sana-sini lagi, nemenin Chandra-Teuku ngeronda.
Abichandra melihat Wisnu sudah enggak karu-karuan tampangnya. Sebentar lagi kelihatannya anak itu bakal tumbang karena kelelahan. “Ya sudah sana, tapi ba’da Subuh kita ngumpul lagi.”
“Siap, Bi!” Wisnu memutar badannya balik arah. Melesat bagai anak panah menuju tenda pramuka putra. Lumayan bisa tidur beberapa jam.
Jadilah Abichandra meneruskan langkah sendirian. Berbekal senter, dia melakukan pengecekan lokasi secara menyeluruh. Menurut jadwal, semua kegiatan sudah harus dihentikan sebelum jam satu dini hari untuk beristirahat. Apalagi acara besok bakal padat banget dan menguras tenaga. Terkecuali suara obrolan dan tawa beberapa orang senior dan para alumni, suasana bumi perkemahan tergolong sepi.
Abichandra sempat melihat Teuku dan Chandra sedang berpatroli di zona kemah anak KEPAL, memastikan keamanan di sana. Ia puas mendapati keadaan aman terkendali dibandingkan tahun lalu waktu ia masih jadi peserta. Banyak banget yang kerasukan dan kambuh asma-nya. Pak Endang, guru matematika dan pembina OSIS mereka, sampai stand by semalaman di posko medis, susah ke mana-mana.
Bapak-bapak gurunya ternyata masih terjaga di tenda utama, posko paling terang benderang saking banyaknya lampu LED berbaterai yang dipasangkan. Mereka mengobrol santai diselingi menyantap jagung dan roti bakar panas beralas tikar, plus ada kopi-nya juga.
“Bi, gimana acaranya beres? Aman, kan?” Pak Endang langsung tembak ke pokok masalah. Sebatang rokok terselip di jarinya. Kumis baplangnya menambah kesan sangar beliau.
“Alhamdulillah lancar terkendali, Pak. Semua acara sudah selesai. Di posko medis ada dua orang yang asma, tapi sudah baikan sekarang,” lapor Abichandra.
“Kamu belum ngantuk? Sini gabung, ada roti bakar, nih!” Pak Didin menunjuk piring di hadapannya. Tampilan Pak Didin, pengampu matpel olahraganya kelas XI, paling santai banget. Berkupluk dan memakai sarung, sudah mirip petugas ronda.
“Silakan, Pak, saya mau keluar dulu bentar,” Abichandra permisi.
Dia lalu meneruskan langkah sendirian, senter di tangan menyapu dinginnya malam. Suasana bumi perkemahan sunyi, hanya suara obrolan pelan para senior di tenda utama yang memecah keheningan. Ia permisi dari para guru, hatinya hanya tertuju pada satu tempat: mushola.
Waktu masih dua jam sebelum Subuh, cukup untuk Tahajud dan memejamkan mata sebentar.
Air di pancuran terasa membeku, menusuk kulit, tapi Abichandra teguh berwudu. Dia tidak menyadari, di dekat sana, ada sepasang mata bundar sipit yang kini memancarkan cahaya penasaran tengah memperhatikannya.
Zarra, ditemani seorang senior, berjalan menuju toilet di samping mushola.
“Zarra, habis dari WC kita nunggu Subuh sekalian di sini aja ya,” ujar seniornya, menguap lebar.
Jantung Zarra berdesir. Mungkin ini kesempatannya untuk bertemu lagi dengan si cowok misterius itu!
Memasuki mushola, Zarra melihat kakak seniornya langsung ambruk, mencari posisi tidur di balik tirai putih yang memisahkan area putri.
Zarra tidak tertarik bergabung tidur. Rasa penasaran mendorongnya. Di luar masjid hanya terdengar kidung para serangga. Udara malam itu lembap. Menahan napas, Zarra berpikir keras sebentar, menakar keberaniannya lebih dulu sebelum membuat keputusan. Perlahan, dia menyibakkan sedikit tirai, mengintip ke sisi laki-laki yang hanya diterangi rembulan dan lampu temaram.
Bola matanya pun langsung membulat.
Cowok itu ada!

Tampak Abichandra baru saja usai tahajud. Kemudian, tanpa suara, cowok itu merebahkan tubuhnya di atas sajadah, berbaring miring, telapak tangan menopang wajah. Dia langsung tertidur pulas.